REPUBLIKA.CO.ID, OUAGADOUGOU -- Presiden Prancis Emmanuel Macron mengecam masa penjajahan kolonial Prancis selama kampanye kepresidenannya. Banyak pihak percaya, terpilihnya Macron sebagai presiden akan membangun hubungan baru antara Prancis dengan Afrika.
Macron tertarik mengakhiri pengaruh Prancis selama 60 tahun di negara-negara bekas koloninya. Presiden termuda Prancis ini melakukan kunjungan ke Afrika, pada Selasa (28/11), dan menjanjikan perubahan.
Ia membawa pesan pendekatan paternalistik Paris ke Afrika, yang dikenal sebagai Francafrique, saat ini sudah berakhir. Macron memang bukan pemimpin Prancis pertama yang mengklaim akan melepaskan masa lalu negaranya, namun ia sangat ingin meyakinkan Afrika ia sangat bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Dalam waktu kurang dari dua tahun Macron telah mengubah lansekap politik Prancis, dengan mematahkan dominasi partai tradisional dan memenuhi parlemen dengan masyarakat sipil. Kebijakannya ini menarik pemilih Prancis yang telah muak dengan politisi arus utama.
Di Afrika, Macron berharap ia bisa merayu negara-negara yang telah dikecewakan oleh Prancis, seperti Burkina Faso dan Pantai Gading. Istana Elysee mengatakan Macron sadar tugas tersebut tidak akan mudah dilakukan.
Dilansir dari Aljazirah, Burkina Faso mendapatkan kemerdekaan dari Prancis pada 1960, namun ikatan keduanya tidak pernah terputus total. Banyak warga Burkina Faso yang marah karena Prancis membantu mantan Presiden Blaise Compaore melarikan diri dari negara itu pada 2014.
Compaore terpaksa melarikan diri setelah demonstrasi massa terjadi di jalanan untuk melawan 27 tahun pemerintahannya yang semakin otoriter. Ouagadougou meminta Prancis mengekstradisi Compaore dan juga saudaranya sehubungan dengan pembunuhan seorang jurnalis pada 1998.
Kunjungan Macron akan fokus pada para pemuda, setelah sebelumnya ia menyebut Afrika sebagai benua masa depan. Macron akan membawa isu inovasi, pekerjaan, dan olahraga, daripada isu bantuan pembangunan.
Dia akan menyampaikan pidato di depan mahasiswa di sebuah universitas, mengunjungi sekolah-sekolah, dan melakukan tur taman tenaga surya terbesar di Afrika Barat. Hal ini akan menandai komitmennya untuk melestarikan benua Afrika bagi generasi mendatang.
'Pemuda' juga akan menjadi tema dalam pertemuan Uni Eropa dan Uni Afrika pekan ini di Abidjan, yang akan dihadiri oleh Macron. Tidak ada pemimpin negara yang tidak setuju mengenai pentingnya meyakinkan generasi muda akan masa depan yang baik.
Namun hal itu berbanding terbalik dengan banyaknya pemuda Afrika yang diperdagangkan sebagai budak di Libya. Banyak dari mereka yang awalnya melarikan diri dari konflik, kekeringan, kelaparan, kekerasan, kemiskinan, untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Mereka kemudian memutuskan bermigrasi ke Eropa dan harus menempuh perjalanan yang berbahaya sehingga yang tidak kuat bertahan dalam perjalanan, akan terancam diperdagangkan sebagai budak.
Macron telah meminta Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di Libya, seperti pemimpin Eropa lainnya, dia juga ingin imigrasi ilegal segera dihentikan.
Macron berharap saat dia berada di perhentian terakhirnya di Ghana, ia mampu mengubah pemikiran beberapa negara Afrika mengenai niat Prancis. Untuk Ghana, Macron ingin agar negara ini berpikir mereka bukan bekas koloni Prancis, juga bukan francophone, melainkan negara demokrasi yang dinamis dan inovatif.