REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Mantan pengungsi dan aktivis Dewan Rohingya Eropa, Mohammed Rafique telah menulis surat kepada Paus Francis untuk menyoroti nasib Muslim Rohingya di Myanmar. Paus Francis saat ini sedang melakukan kunjungan ke Myanmar dan telah tiba di negara itu pada Senin (27/11).
"Anda pernah berkata, 'Hidup adalah sebuah perjalanan. Saat kita berhenti, semuanya tidak berjalan dengan baik.' Dalam kunjungan pertemanan dan perdamaian ini, dengan senang hati kami meminta Anda tidak berhenti menggunakan kata 'Rohingya' dalam kunjungan itu, yang menunjukkan identitas masyarakat yang telah berusaha dimusnahkan oleh rezim militer dan pemerintahan Aung San Suu Kyi selama beberapa dekade," tulis Rafique, dikutip Anadolu.
Rafique menyayangkan pemerintah Myanmar telah menyarankan Paus untuk tidak menggunakan istilah 'Rohingya' selama kunjungannya ke negara itu. "Dan mereka mengatakan hal itu dapat mempengaruhi masyarakat, terutama masyarakat minoritas Kristen," jelasnya.
Rafique menjelaskan, selama ini Rohingya telah dilucuti kewarganegaraannya, ditolak HAM dasarnya, seperti kebebasan beragama, berkebangsaan. Mereka juga kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan.
Ia menggunakan istilah yang diadopsi oleh PBB untuk menggambarkan operasi militer yang diluncurkan pada Agustus lalu di Negara Bagian Rakhine. Menurut PBB, krisis Rohingya adalah 'contoh buku teks dari pembersihan etnis" dan 'genosida'.
Menurutnya, tidak pernah ada aksi genosida skala besar di zaman modern, seperti yang tengah terjadi terhadap Rohingya. Ia juga menuduh para pemimpin dunia telah menutup mata akan krisis ini.
"Kami tidak memiliki pilihan selain berharap dan mempercayai individu seperti Anda yang berani menentang kekejaman dan membela hak asasi manusia. Kami, Rohingya, berharap agar perjalanan Anda membawa cinta dan kedamaian dan menambahkan suara untuk menentang penindasan," tulisnya kepada paus.
Selama tindakan keras tersebut, pasukan keamanan dan masyarakat Buddha telah membunuh pria, wanita, dan anak-anak, serta menjarah rumah dan membakar desa Rohingya. Hal ini didasarkan pada laporan para pengungsi.
Pada September lalu, Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali mengatakan sekitar 3.000 warga Rohingya tewas dalam operasi tersebut. Dalam sebuah laporan, penyidik PBB mengatakan pelanggaran tersebut mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Rohingya telah digambarkan oleh PBB sebagai minoritas yang paling teraniaya di dunia. Mereka telah menghadapi ketakutan atas serangan sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012.
Kepada Paus, Jenderal Myanmar Sebut tak Ada Diskriminasi Agama