REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Badan hak perempuan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Selasa (28/11) meminta Myanmar dalam waktu enam bulan melaporkan perkara kekerasan seksual terhadap perempuan dan perempuan anak-anak Rohingya oleh pasukan keamanannya di Rakhine utara.
Mereka juga meminta laporan tindakan, yang akan diterapkan Myanmar untuk menghukum tentara pelaku kekerasan tersebut.
Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) juga meminta pihak berwenang memberikan keterangannya tentang perempuan dan perempuan anak-anak, yang tewas dalam kekerasan sejak tindakan keras tentara dimulai pada akhir Agustus.
Gerakan tersebut, yang dilancarkan menyusul serangan terhadap sejumlah pos polisi oleh gerilyawan Rohingya, mendorong lebih dari 600 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dan meninggalkan desa mereka, yang terbakar habis.
Permintaan langka untuk laporan luar biasa dari sebuah negara hanya baru terdapat empat panel sejak 1982. "Kami meminta laporan yang luar biasa dari sebuah negara ketika terjadi sebuah pelanggaran serius, besar dan sistematis terjadi dan isu ini sesuai dengan amanat Komite," kata anggota panel Nahla Haidar.
"Laporan luar biasa sama juga seperti bendera merah," katanya.
"Langkah tersebut bertujuan untuk membantu pemerintah Myanmar keluar dari kemelut yang terjadi belakangan ini, yang telah benar benar membuat kemunduran dalam proses demokratisasi di Myanmar," tambahnya.
Panel pengawas PBB, yang terdiri dari 23 pakar mandiri, menetapkan batas waktu selama enam bulan bagi pemerintah, untuk menyampaikan laporan tersebut kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
"Panitia meminta keterangan mengenai perkara-perkara kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, terhadap perempuan dan anak perempuan Rohingya oleh pasukan keamanan negara itu; dan untuk memberikan rincian tentang jumlah perempuan dan anak perempuan yang terbunuh atau telah meninggal dunia akibat penyebab non-alami lainnya selama kekerasan terkini terjadi," katanya dalam pernyataan.
"Intinya perkosaan, kekerasan seksual dengan sejumlah penyiksaan dalam perkara tertentu terhadap anak perempuan dan perempuan Rohingya dapat terlaporkan. Dan pemerkosaan secara berkelompok juga dapat tercatat. Dan ya, penyiksaan dan perkosaan digunakan sebagai senjata perang yang sistematis," kata Haider.
Para ahli meminta informasi tentang penyelidikan, penangkapan, penuntutan, hukuman dan tindakan hukuman atau disiplin yang diberlakukan pada pelaku, termasuk anggota pasukan bersenjata, yang terbukti bersalah atas kejahatan semacam itu," tambahnya.
Secara khusus, mereka mencari informasi tentang batalion yang telah melakukan operasi pembersihan di negara bagian Rakhine utara sejak 25 Agustus dan di bawah komandonya. Mereka bertanya apakah perintah telah diberikan atau sedang dikeluarkan untuk semua pasukan keamanan negara yang melakukan siksaan, kekerasan seksual dan pengusiran" dan mereka yang bertanggung jawab akan dituntut dan dihukum".
Panel mengatakan ingin mengetahui berapa banyak perempuan dan anak perempuan Rohingya yang ditahan oleh aparat keamanan. Paus Fransiskus pada Selasa mendesak pemimpin Myanmar, negara dengan kebanyakan penduduknya beragama Buddha, untuk terikat pada keadilan, menjunjung hak asasi dan menghargai setiap kelompok suku dan jati dirinya.