REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Paus Fransiskus pada Jumat (1/12) menggunakan kata 'Rohingya' untuk pertama kalinya selama perjalanannya ke Asia guna merujuk pada pengungsi yang telah melarikan diri dalam jumlah besar karena kekerasan di Myanmar. "Kehadiran Tuhan hari ini juga disebut Rohingya," katanya dalam sebuah pernyataan improvisasi setelah bertemu 16 pengungsi yang dibawa ke ibu kota Bangladesh, Dhaka, dari kamp mereka di Cox's Bazar dekat perbatasan dengan Myanmar.
"Atas nama semua orang yang telah menganiaya Anda, sakit menyakiti Anda, saya meminta maaf. Saya meminta hati yang besar untuk memberi kami pengampunan yang kami mohon," kata Fransiskus menambahkan.
Lebih dari 625.000 Muslim Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh sejak akhir Agustus menyusul tindakan keras oleh militer Myanmar dalam menanggapi serangan terhadap pasukan keamanan oleh milisi Rohingya. Kebanyakan warga Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan dan dipandang sebagai imigran ilegal oleh mayoritas umat Budha Myanmar.
Paus tampak murung saat masing-masing anggota kelompok tersebut, yang termasuk 12 pria dan empat wanita, termasuk dua gadis muda, menceritakan kepadanya kisah mereka melalui penerjemah di akhir pertemuan. Pada perjalanan pertama kunjungannya saat ini, di Myanmar, dia tidak menggunakan kata Rohingya untuk menggambarkan para pengungsi.
Istilah 'Rohingya' diperdebatkan oleh pemerintah dan militer Yangon. Dalam berbagai kesempatan dengan para pemimpin asing, Aung San Suu Kyi selalu meminta agar mereka tidak menggunakan istilah Rohingya.
Pemerintah Myanmar yang sebagian besar adalah penganut Budha, menganggap Rohingya sebaga imigran gelap dari Bangladesh sehingga tidak mengakui keberadaan mereka meski sudah turun temurun hidup di Myanmar. Lebih dari 600 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh untuk mencari perlindungan setelah pihak militer Myanmar melancarkan operasi sebagai balasan atas serangan kelompok militan Rohingya terhadap pos keamanan pada 25 Agustus lalu.
Gelombang pengungsi Rohingya telah menimbulkan reaksi dari seluruh dunia dan bahkan ada tuntutan agar hadiah Nobel Suu Kyi sebagai pahlawan demokrasi pada 1991 dicabut karena ia justru bersikap diam terhadap kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer Myanmar. Pada September lalu, Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan, situasi di Rakhine lebih tepat disebut sebagai pembersihan etnis.