Sabtu 02 Dec 2017 14:42 WIB

Paus Fransiskus Bertemu Anak Yatim Rohingya

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Winda Destiana Putri
Noor Fatima, seorang pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh dari Myanmar, dengan 1 dari 4 anaknya.
Foto: ABC
Noor Fatima, seorang pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh dari Myanmar, dengan 1 dari 4 anaknya.

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Paus Fransiskus mengunjungi sebuah panti asuhan di Dhaka, ibukota Bangladesh, pada Sabtu (2/12). Reuters melaporkan, kunjungan tersebut sekaligus mengakhiri rangkaian lawatan pemimpin umat Katolik sedunia itu terkait pengungsi Rohingya di Bangladesh.

Panti asuhan itu berdiri atas inisiatif tokoh Katolik, Bunda Teresa. Di hadapan para biarawan, pewarta, dan anak-anak yatim pengungsi Rohingya, Paus mengapresiasi kerukunan antar-umat beragama di Bangladesh.

Pada Jumat (1/12) lalu, Paus Fransiskus menghadiri acara dialog sekaligus berjumpa dengan sejumlah pengungsi Muslim Rohingya. Paus Fransiskus berharap para pengungsi itu tabah dan teguh dalam iman mereka.

Dalam kesempatan di Bangladesh ini, dia menggunakan istilah Rohingya sambil menegaskan pentingnya perlindungan atas hak-hak pengungsi. Hal ini agak berbeda ketika sang paus berada di Myanmar. Pada 28 November lalu, Paus Fransiskus sempat bertemu dengan pemimpin nasional Myanmar, Aung San Suu Kyi.

Di sana, dia menghindari penyebutan istilah Rohingya, meskipun tetap menyerukan pentingnya perlindungan atas hak-hak kaum minoritas. Menurut pernyataan resmi Gereja Myanmar, Paus melakukan hal itu untuk menghindari kendala-kendala demokratisasi di Myanmar.

Pemerintah Myanmar sampai saat ini belum mengakui kewarganegaraan orang-orang Rohingya. Etnis yang mayoritas beragama Islam itu justru dituding sebagai pendatang asal Bangladesh.

Padahal, sejumlah catatan historis menyebutkan etnis Rohingya telah menghuni daerah Myanmar utara ratusan tahun lamanya, jauh sebelum negara itu merdeka.

PBB pada Agustus lalu menegaskan telah terjadi genosida atas etnis Rohingya di Myanmar. Para tokoh dunia juga banyak bersuara mengecam lambannya respons pemerintah setempat, khususnya Aung San Suu Kyi, yang selama ini dianggap mewakili suara prodemokrasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement