Selasa 05 Dec 2017 05:07 WIB

Palestina-Liga Arab Peringatkan AS tak Akui Yerusalem Ibu Kota Israel

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ani Nursalikah
Masjidil Haram Yerusalem
Foto: muhammad subarkah
Masjidil Haram Yerusalem

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Liga Arab dan warga Palestina memperingatkan Amerika Serikat (AS) tidak memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem. Mereka mengatakan tindakan semacam itu akan mengancam perdamaian di masa depan dan dapat memicu gelombang kekerasan baru di wilayah yang dilanda perselisihan tersebut.

Peringatan tersebut datang saat Presiden AS Donald Trump mempertimbangkan memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem yang diklaim sebagai ibu kota Israel meskipun Palestina menganggapnya Yerusalem Timur.

"Kami memperingatkan Amerika jika pemerintah Amerika sebenarnya melakukan pernyataan mengakui Yerusalem yang

bersatu sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan besar Amerika ke Yerusalem, ini adalah langkah yang akan mengakhiri kemungkinan sebuah proses perdamaian, kata seorang penasihat senior Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, Naabil Shaath, seperti dikutip dari laman USA Today, Selasa (5/12).

Abbas mencoba untuk mengerahkan perlawanan internasional terhadap langkah tersebut. Sementara itu, Sekretaris Jenderal Liga Arab, Ahmed Aboul Gheit juga menggemakan peringatan.

"Kami mengatakan dengan sangat jelas tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan. Ini tidak akan menghasilkan ketenangan atau stabilitas, tapi akan mendorong ekstremisme dan berakibat pada kekerasan. Itu hanya menguntungkan satu pihak, pemerintah Israel yang memusuhi perdamaian," ," kata Gheit dalam sebuah pernyataan.

Pekan lalu, sebuah peringatan juga datang dari Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi, yang mengatakan dia telah mengajukan masalah tersebut dengan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson. "Keputusan seperti itu akan memicu kemarahan di dunia Muslim Arab, menekan bahan bakar dan membahayakan usaha perdamaian," tulisnya di Twitter.

Seorang penasihat Abbas lainnya, Mahmoud Habash, memperingatkan langkah Trump semacam itu berarti kehancuran proses perdamaian. Berbicara di hadapan Abbas pada Sabtu, Habash mengatakan dunia akan membayar harganya atas perubahan status Yerusalem.

Pejabat Gedung Putih mengatakan Trump mempertimbangkan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel tanpa benar-benar memindahkan kedutaan AS di sana yang telah dijanjikannya selama kampanyenya. Jared Kushner, menantu Trump dan penasihat senior Timur Tengah mengatakan pada Ahad presiden tersebut masih mempertimbangkan apakah akan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel atau memindahkan Kedutaan Besar AS.

"Dia masih melihat banyak fakta berbeda," kata Kushner pada konferensi kebijakan Timur Tengah di Washington.

Sementara Israel menganggap Yerusalem sebagai ibukotanya, hampir seluruh dunia menolak klaim tersebut, dengan mengatakan status kota tersebut harus diselesaikan dalam perundingan damai dengan orang-orang Palestina. Kelompok militan Palestina Hamas telah memperingatkan adanya intifada atau pemberontakan baru, jika AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Status Yerusalem telah menjadi batu sandungan utama selama perundingan perdamaian sebelumnya antara Israel dan Palestina, khususnya, bagaimana membagi kedaulatan dan mengawasi tempat-tempat suci. Isu utama lainnya adalah permukiman ilegal Israel di Tepi Barat.

Intifadah Palestina terakhir terjadi pada 2000 setelah Ariel Sharon, pemimpin oposisi sayap kanan Israel, mengunjungi Masjid

Al-Aqsa di Yerusalem timur. Kekerasan berikutnya membuat sekitar 3.000 warga Palestina dan 1.000 orang Israel tewas.

Masyarakat internasional tidak pernah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel atau aneksasi sepihak wilayahnya di sekitar sektor timur kota yang dicaploknya pada Perang Enam Hari 1967.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement