Jumat 08 Dec 2017 10:30 WIB

Mayoritas Mantan Dubes AS untuk Israel Tolak Keputusan Trump

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nur Aini
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Hal ini disampaikannya di Gedung Putih, Washington DC, Rabu (6/12) waktu setempat atau Kamis (7/12) WIB.
Foto: AP/Alex Brandon
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Hal ini disampaikannya di Gedung Putih, Washington DC, Rabu (6/12) waktu setempat atau Kamis (7/12) WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Mayoritas mantan duta besar AS untuk Israel berseberangan pendapat dengan Donald Trump. Media Israel merangkum laporan The New York Times yang menghubungi mereka baru-baru ini.

"Ada banyak dampak buruk, baik secara diplomatik maupun terkait keamanan serta upaya perdamaian di Timur Tengah. (Kebijakan Trump) ini tidak ada untungnya," kata Daniel Kurtzer, mantan dubes AS untuk Israel periode 2001-2005, seperti dikutip The Times of Israel, Jumat (8/12).

Sosok yang bekerja semasa pemerintahan George W Bush itu menambahkan, AS akan diisolasi dunia internasional akibat kebijakan Trump ini. "Tentu saja selain oleh Israel, yang jelas mendukung kebijakan (Trump) ini. Kita sedang menjauh dari apa-apa yang pernah disampaikan sendiri oleh presiden (Trump). Dia pernah berjanji menjadi mediator perdamaian (di Timur Tengah), " kata Kurtzer.

Bekas dubes AS untuk Israel periode 2005-2009, Richard Jones, juga mengatakan hal senada. Sosok ini pun bekerja dalam era Bush silam.

Menurut Jones, langkah Trump mengakui status Yerusalem untuk ibu kota Israel hanya berujung pada peningkatan tensi konflik. Apalagi, Hamas diketahui langsung merespons dengan seruan intifada baru.

"Jelas ini langkah yang berisiko. Tak diragukan lagi, akan banyak korban nyawa di pihak Israel dan kawasan (Timur Tengah). Khususnya, ketika kelak Israel akan memakai keputusan (Trump) itu sebagai pembenaran untuk memperluas permukiman (Yahudi di Yerusalem)," ujar Richard Jones.

Sedikit berseberangan dengan mereka, Daniel Shapiro cenderung mengamini keputusan Trump tersebut. Dia merupakan duta besar AS untuk Israel periode 2011-2017. Masa tugasnya berakhir seiring dengan lengsernya Barack Obama.

Bagaimanapun, Shapiro lebih menginginkan bila Yerusalem Barat, bukan seluruh Yerusalem, menjadi ibu kota Israel. Dia juga ingin agar setiap wacana terkait status Yerusalem telah melalui negosiasi damai sebelumnya.

"Yerusalem adalah ibu kota Israel, dan itu memang tepat bila diakui demikian. Pengakuan presiden (Trump) adalah sesuai kenyataan", klaim Shapiro.

"Yang luput di sini adalah, kegagalan untuk melihat keputusan (Trump) ini dalam konteks upaya strategis yang lebih luas, yakni solusi dua-negara. Dengan begitu, perlu konsultasi lebih dulu dengan negara-negara Arab. Itu akan menjelaskan lebih lanjut apa saja yang diharapkan Palestina, sebagai aspirasinya atas (status) Yerusalem," kata dia.

Para dubes AS untuk Israel lainnya yang mengecam keputusan Trump itu adalah Martin Indyk, yang aktif periode 1988-1992; William Caldwell Harrop, dubes era 1992-1993; Edward Djerejian, dari era 1993-1994; Thomas Pickering, yang aktif dalam era presiden Reagen silam; serta James Cunningham, yang mengabdi dalam masa Bush dan Obama.

Adapun yang seutuhnya mendukung keputusan Trump adalah Edward Walker Jr dan Ogden R. Reid. Masing-masing pernah menjadi dubes AS untuk Israel pada masa presiden Bill Clinton dan era presiden Eisenhower.

"Ini hanya soal waktu. Kita akan ketinggalan bila tidak mengakui realitas yang ada. Kita tahu, Israel punya ibu kota, yakni Yerusalem. Lebih dari 35 tahun saya bekerja di Timur Tengah, tak ada yang meragukannya, demikian klaim Edward Walker Jr, seperti dilansir The Times of Israel, hari ini.

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Hal ini dilakukannya di tengah begitu banyak kecaman, bahkan dari negara-negara sekutu AS sendiri.

Dunia internasional menghendaki status Yerusalem tidak akan ditentukan sebelum adanya sebuah perundingan damai. Karena itu, langkah sepihak AS dinilai dapat memunculkan kekerasan lebih lanjut khususnya di Timur Tengah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement