Sabtu 09 Dec 2017 08:35 WIB

Sejumlah Mantan Dubes AS untuk Israel Kecam Trump

Rep: Hasanul Rizqa, Lida Puspaningtyas/ Red: Elba Damhuri
Unjuk rasa menentang putusan Amerika mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel di Berlin, Jerman, Jumat (8/12).
Foto: Hayoung Jeon/EPA-EFE
Unjuk rasa menentang putusan Amerika mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel di Berlin, Jerman, Jumat (8/12).

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Mayoritas mantan duta besar Amerika Serikat (AS) untuk Israel berseberangan pendapat dengan Presiden AS Donald Trump setelah dia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Hal ini terlihat dalam rangkuman yang dibuat media Israel atas laporan the New York Times yang menghubungi mereka baru-baru ini.

“Ada banyak dampak buruk, baik secara diplomatik maupun terkait keamanan serta upaya perdamaian di Timur Tengah. (Kebijakan Trump) Ini tidak ada untungnya,” kata Daniel Kurtzer, mantan dubes AS untuk Israel periode 2001-2005, seperti dikutip Times of Israel, Jumat (8/12).

Sosok yang bekerja semasa pemerintahan presiden AS George W Bush itu menambahkan, AS akan diisolasi dunia internasional akibat kebijakan Trump ini. “Tentu saja selain oleh Israel, yang jelas mendukung kebijakan (Trump) ini. Kita sedang menjauh dari apa-apa yang pernah disampaikan sendiri oleh presiden (Trump). Dia pernah berjanji menjadi mediator perdamaian (di Timur Tengah),” lanjut Kurtzer.

Bekas dubes AS untuk Israel periode 2005-2009, Richard Jones, juga mengatakan hal senada. Sosok ini pun bekerja di era Bush. Menurut Jones, langkah Trump mengakui status Yerusalem untuk ibu kota Israel hanya berujung pada peningkatan tensi konflik. Apalagi, Hamas diketahui langsung merespons dengan seruan intifada baru.

“Jelas ini langkah yang berisiko. Tak diragukan lagi, akan banyak korban nyawa di pihak Israel dan kawasan (Timur Tengah). Khususnya, ketika kelak Israel akan memakai keputusan (Trump) itu sebagai pembenaran untuk memperluas permukiman (Yahudi di Yerusalem --red),” ujar Richard Jones.

Agak berseberangan dengan mereka, Daniel Shapiro cenderung mengamini keputusan Trump tersebut. Dia merupakan duta besar AS untuk Israel periode 2011-2017. Masa tugasnya berakhir seiring dengan lengsernya presiden Barack Obama.

Namun, Shapiro lebih menginginkan pYerusalem Barat --bukan seluruh Yerusalem-- untuk menjadi ibu kota Israel. Dia juga ingin agar setiap wacana terkait status Yerusalem telah melalui negosiasi damai sebelumnya.

“Yerusalem adalah ibu kota Israel dan itu memang tepat bila diakui demikian. Pengakuan presiden (Trump) adalah sesuai kenyataan,” kata Shapiro.

“Yang luput di sini adalah kegagalan untuk melihat keputusan (Trump) ini dalam konteks upaya strategis yang lebih luas, yakni solusi dua negara. Dengan begitu, perlu konsultasi lebih dulu dengan negara-negara Arab. Itu akan menjelaskan lebih lanjut apa saja yang diharapkan Palestina, sebagai aspirasinya atas (status) Yerusalem,” kata dia.

Para dubes AS untuk Israel lainnya yang mengecam keputusan Trump itu adalah Martin Indyk yang aktif pada periode 1988-1992, William Caldwell Harrop dubes era 1992-1993, Edward Djerejian dari era 1993-1994, Thomas Pickering yang aktif di era presiden Ronald Reagan, serta James Cunningham yang mengabdi pada masa Bush dan Obama.

Adapun yang seutuhnya mendukung keputusan Trump adalah Edward Walker Jr dan Ogden R Reid. Masing-masing pernah menjadi dubes AS untuk Israel pada masa presiden Bill Clinton dan era presiden Dwight Eisenhower.

“Ini hanya soal waktu. Kita akan ketinggalan bila tidak mengakui realitas yang ada. Kita tahu, Israel punya ibu kota, yakni Yerusalem. Lebih dari 35 tahun saya bekerja di Timur Tengah, tak ada yang meragukannya,” kata Edward Walker Jr, seperti dilansir Times of Israel.

(Pengolah: Yeyen Rostiyani)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement