Ahad 10 Dec 2017 19:46 WIB

Saudi Desak AS Batalkan Pemindahan Kedubes ke Yerusalem

Rep: Fuji E Permana/ Red: Elba Damhuri
Massa unjuk rasa menentang kebijakan Trump atas Yerusalem di President Park tidak jauh dari istana kepresidenan Gedung Putih Washington, DC, Jumat (8/12) waktu setempat, atau (9/12) dini hari WIB.
Foto: Michael Reynolds/EPA-EFE
Massa unjuk rasa menentang kebijakan Trump atas Yerusalem di President Park tidak jauh dari istana kepresidenan Gedung Putih Washington, DC, Jumat (8/12) waktu setempat, atau (9/12) dini hari WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH -- Pemerintah Arab Saudi meminta Pemerintah Amerika Serikat (AS) membatalkan keputusan memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem. Hal tersebut disampaikan Arab Saudi kepada AS pada Sabtu (9/12).

Menteri Luar Negeri Saudi, Adel Al-Jubeir, mengatakan Pemerintah Arab Saudi meminta Pemerintah AS untuk mundur dari keputusannya. Saudi mendesak AS untuk mendukung keinginan internasional untuk mengizinkan rakyat Palestina mendapatkan kembali hak-hak mereka yang sah.

Menurutnya, ini merupakan langkah mundur yang signifikan dalam upaya mendorong proses perdamaian ke depan dan terganggunya posisi AS.

Baca Juga: Infografis Pengakuan Trump Atas Yerusalem Sebagai Ibu Kota Israel

"Kami menyerukan kepada masyarakat internasional untuk mengintensifkan upayanya untuk mendorong proses perdamaian guna mengakhiri konflik bersejarah ini dalam kerangka kerja permanen," kata Al-Jubeir dalam sebuah pertemuan para menteri luar negeri Arab di Kairo, dilansir dari Arab News, Ahad (10/12).

Ia melanjutkan, proses perdamaian adalah solusi yang adil dan komprehensif berdasarkan resolusi legitimasi Internasional dan inisiatif perdamaian Arab mengizinkan rakyat Palestina mengembalikan hak-hak mereka yang sah di negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Juga untuk mewujudkan perdamaian, keamanan dan stabilitas di wilayah tersebut dan dunia pada umumnya.

Pertemuan Liga Arab yang mempertemukan para menteri luar negeri dari negara-negara anggota berlangsung saat demonstrasi hari ketiga di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pengumuman Presiden AS, Donald Trump di Yerusalem dan niatnya untuk memindahkan Kedutaan Besar AS ke sana, memicu kecaman dari seluruh dunia.

Keputusan Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedubes AS ke sana mendapat respons keras dari seluruh dunia. Memang, ada satu-dua negara yang mendukung, namun PBB dan banyak negara lain menolak rencana itu, termasuk Indonesia.

Demonstrasi menolak keputusan Trump ini pun merebak di berbagai kota di seluruh dunia, dari Washington, AS, hingga Berlin, Jerman. Di Tepi Barat yang biasanya sepi demo pun belakangan ini terus membara di mana kaum muda dan tuanya ikut turun ke jalan menolak keputusan Trump.

Tentang Yerusalem

Status Yerusalem hingga kini menjadi salah satu poin paling alot dalam penyelesaian konflik. Di bawah UN Partition Plan 1947, Yerusalem memiliki status spesial dan hendak diambil kendali juga kedaulatannya oleh komunitas internasional.

Ini karena Yerusalem adalah situs suci tiga kepercayaan, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Pada perang 1948, Zionis Israel menekan untuk pengendalian bagian barat kota. Hingga akhirnya mereka berhasil mendeklarasikan wilayah tersebut sebagai bagian kekuasaan.

Pada 1967, saat wilayah timur dibawah kendali Yordania, Israel kembali menekan. Langkah itu dilanjutkan dengan memperpanjang hukum Israel hingga wilayah timur.

Pada 1980, Israel meloloskan Hukum Yerusalem yang menyebut kota suci tersebut sudah bersatu menjadi ibu kota Israel. Ini merupakan langkah formal mereka dalam menguasai Yerusalem Timur secara penuh.

Sebagai respons, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 478 di tahun yang sama. Dengan keras PBB mendeklarasikan klaim Israel batal demi hukum.

Komunitas internasional, termasuk AS dulu sepakat Yerusalem timur adalah wilayah jajahan. Tidak ada negara mana pun yang mengakui bagian Yerusalem mana pun adalah ibu kota Israel.

Inilah mengapa seluruh kedutaan besar negara mana pun berada di Tel Aviv. Pada Rabu, Trump memecahkan telur. Ia ingin AS jadi negara pertama yang memiliki Kedutaan Besar di Yerusalem.

Aneksasi ilegal Israel atas Yerusalem Timur merupakan pelanggaran menurut sejumlah prinsip hukum internasional. Okupasi tidak berarti berkuasa dan berdaulat.

Sikap Presiden Jokowi

Presiden Joko Widodo menyampaikan pesan Indonesia melalui sambungan telepon kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Lantas apa saja yang disampaikan Jokowi kepada Abbas?

"Kemarin saya sudah coba dua kali dan alhamdulilah kemarin saya sudah berbicara dengan Presiden Mahmoud Abbas dan saya sampaikan kembali posisi Indonesia mengenai pengakuan AS terhadap Yerusalem sebagai ibu kota," kata Presiden Joko Widodo di sela-sela peninjauan pembangunan kembali jembatan penyeberangan orang di Dukuh Bonjing, Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta, Sabtu.

Hal itu terkait dengan pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menyatakan akan segera memindahkan Kedutaan Besar AS di Israel yang tadinya berada di Kota Tel Aviv ke Ota Yerusalem. Padahal, Yerusalem masih menjadi kota penting bagi Israel dan Palestina.

"Saya sampaikan kepada Presiden Mahmoud Abbas bahwa yang pertama, Indonesia mengecam keras keputusan AS tersebut dan saya sampaikan juga keputusan tersebut bertentangan dengan semua resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Palestina," ujar Presiden.

Menurut Presiden, pengakuan Presiden Trump mengenai pemindahan Kedutaan Besar AS itu juga membahayakan proses-proses perdamaian yang sudah lama dirintis. "Kedua, Indonesia mengajak semua negara untuk bersatu, memberikan dukungan terhadap Palestina," ucap Presiden.

Ketiga, Indonesia juga akan mengajak negara lain untuk tidak mengikuti apa yang dilakukan AS untuk memindahkan kedutaannya ke Yerusalem. "Terakhir Indonesia akan selalu bersama dengan perjuangan rakyat Indonesia," kata Presiden.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement