REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Menteri luar negeri dari dunia Arab pada Ahad (10/12) pagi mengumumkan keputusan Amerika Serikat (AS) untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel tidak sah. Para menteri luar negeri dari dunia Arab memperingatkan mengenai kerusuhan lebih jauh di wilayah.
Menteri dari negara anggota Liga Arab mengadakan pertemuan mendesak di Ibu Kota Mesir, Kairo, mulai Sabtu (9/12) malam. Mereka mendesak negeri Paman Sam agar menarik keputusannya. Mereka menggambarkan tindakan AS tersebut melanggar hukum internasional.
Presiden AS Donald Trump pada Rabu (6/12) mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Trump juga memutuskan untuk memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. "Keputusan AS itu tak memiliki dampak hukum," kata para menteri Arab di dalam pernyataan akhir mereka.
Menteri luar negeri dari dunia Arab menambahkan, keputusan tersebut merusak upaya perdamaian, meningkatkan ketegangan, memancing kemarahan dan mendorong wilayah itu ke dalam kerusuhan dan ketidakstabilan. Pengumuman Trump menerima kecaman keras dan penentangan dari negara Arab dan Muslim.
Para menteri luar negeri Arab telah mendesak negara di dunia agar mengakui Negara Palestina merdeka di wilayah yang diduduki oleh Israel pada 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai Ibu Kotanya. Mereka telah menyatakan AS telah mengucilkan dirinya sendiri sebagai penaja dan penengah perdamaian setelah membuat keputusan itu.
Mereka menekankan kepatuhan pada perdamaian dengan dasar penyelesaian dua-negara, dan menyerukan resolusi Dewan Keamanan PBB untuk menegaskan bahwa keputusan AS bertolak-belakang dengan keabsahan internasional. Yerusalem berada di jantung pertikaian Palestina-Israel.
Israel merebut Jerusalem Timur dari Jordania dalam Perang 1967 dan mengumumkan seluruh kota tersebut sebagai ibu kotanya yang tak terpisahkan dan abadi pada 1980, tapi itu tak diakui oleh masyarakat internasional. Rakyat Palestina berkeras bahwa mereka mesti mendirikan negara merdeka dengan Jerusalem Timur sebagai Ibu Kotanya dalam penyelesaian akhir.
Berdasarkan kesepakatan perdamaian Palestina-Israel sebelumnya, status Jerusalem mesti ditentukan melalui pembicaraan status-akhir antara Israel dan Palestina.