REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadapi banyak tekanan saat ia mengunjungi Eropa pada Senin (11/12). Ia telah diminta untuk memulai kembali proses perdamaian yang hampir mati di Timur Tengah menyusul kritik luas terhadap keputusan AS untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negaranya.
Netanyahu akan berada di Brussels untuk melakukan pertemuan dengan menteri luar negeri Uni Eropa. Kepala diplomatik Uni Eropa, Federica Mogherini, mengatakan Uni Eropa akan mendesaknya untuk melanjutkan negosiasi.
Pertemuan tersebut terjadi setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron mengadakan pembicaraan dengan Netanyahu di Paris pada Ahad (10/12). Macron memintanya untuk membekukan pembangunan permukiman dan kembali menjalin hubungan dengan warga Palestina.
Sebelum meninggalkan Israel, Netanyahu sempat menyampaikan "kemunafikan" Eropa karena telah mengutuk pernyataan Presiden AS Donald Trump. Akan tetapi, Uni Eropa tidak mengecam roket yang menembaki Israel atau hasutan yang mengerikan terhadap negaranya.
Sebagian besar anggota Uni Eropa, telah menyatakan kekhawatirannya atas perubahan kebijakan Trump.
Mogherini memperingatkan, keputusan tentang Yerusalem memiliki potensi untuk mengirim dunia mundur ke masa yang lebih gelap daripada yang telah ditinggali.
Berbicara kepada wartawan di Brussels pada Jumat (8/12), Mogherini mengulangi pendirian Eropa, satu-satunya solusi yang realistis untuk perdamaian Israel dan Palestina adalah solusi dua negara, dengan Yerusalem sebagai ibukota kedua negara dan perbatasan kembali ke status mereka sebelum Perang Arab-Israel 1967.
"Adalah kepentingan keamanan Israel untuk menemukan solusi abadi untuk konflik yang berlangsung puluhan tahun ini," jelasnya, dikutip Arab News.
Namun blok beranggota 28 negara tersebut tidak sepenuhnya bersatu dalam masalah ini. Hungaria, Yunani, Lithuania, dan Republik Ceko pada khususnya menyukai hubungan yang lebih hangat dengan Israel.
Pekan lalu Hungaria memutuskan untuk memblokir sebuah pernyataan bersama dari Uni Eropa yang mengkritik pergeseran kebijakan tentang Yerusalem oleh Washington.