REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Pemimpin Hizbullah Lebanon Hassan Nasrallah mengatakan kelompoknya dan sekutu-sekutunya di wilayah akan fokus pada perjuangan orang-orang Palestina. Hal ini dilakukan setelah mereka mengklaim berhasil merebut kemenangan di tempat lain.
Hizbullah, blok politik Syiah Lebanon yang didukung Iran dengan sayap militer yang kuat, telah berperang di Suriah bersama sekutu regional mereka, untuk mengalahkan pemberontak antipemerintah dan ISIS. Nasrallah mengatakan persoalan Yerusalem merupakan prioritas utama untuk saat ini. Dia mengungkapkan HIzbullah dan kelompok-kelompok pendukung telah merancang strategi yang dapat diterapkan di lapangan untuk melawan Israel.
Pada Senin (11/12), Nasrallah meminta sekutu Hizbullah menerapkan strategi gabungan di lapangan guna menghadapi Israel. Pernyataannya ini disampaikan saat ribuan pendukung Hizbullah berdemonstrasi di Beirut.
Mereka meneriakkan "Kematian bagi Amerika!" dan "Kematian bagi Israel!" sebagai protes atas keputusan Presiden AS Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Para demonstran bergerak melalui benteng Hizbullah di selatan Beirut, sambil membawa spanduk bertuliskan "Yerusalem, Ibu kota Abadi Palestina" dan "Yerusalem adalah milik Kami". Nasrallah mengatakan dia berharap keputusan bodoh AS akan menandai awal dari akhir Israel.
Kontributor Aljazirah, Zeina Khodr, yang melaporkan langsung dari Beirut pada Senin (11/12), mengatakan Nasrallah meminta pendukung Hizbullah untuk terus melakukan demonstrasi menentang langkah AS tersebut. "Nasrallah menggambarkan keputusan Trump sebagai agresi terhadap Palestina yang bertujuan menelanjangi hak-hak orang-orang Palestina," kata Khodr.
Nasrallah telah menyerukan demonstrasi tersebut sejak pekan lalu, setelah Trump mengumumkannya dalam pidato di televisi pada 6 Desember. Langkah tersebut telah banyak dikecam dan telah mendorong banyak demonstrasi di Timur Tengah dan di negara-negara lain.
Lebanon adalah rumah bagi lebih dari 450 ribu pengungsi Palestina, atau hampir 10 persen dari populasi negara tersebut. Banyak keturunan mereka yang melarikan diri setelah penciptaan Israel pada 1948.
Khodr mengatakan keputusan Trump telah menjadi hadiah bagi Hizbullah yang melakukan intervensi dalam konflik Suriah. Militan Hizbullah memainkan peran kunci dalam mengubah gelombang perang Suriah demi Presiden Suriah Bashar al-Assad, sekutu penting Iran.
"Sejak awal, sejak Hizbullah lahir tiga dekade yang lalu, Palestina telah menjadi pusat perjuangan mereka. Sampai beberapa tahun yang lalu, Hizbullah digambarkan sebagai gerakan perlawanan," ungkap Khodr.
"Tapi mereka kehilangan banyak popularitas dan legitimasi saat melakukan intervensi di Suriah. Lawan-lawannya menuduhnya sebagai milisi sektarian yang melayani kepentingan Iran," tambah dia.
"Sekarang Hizbullah mengatakan mereka telah menang melawan ISIS dan perang di Suriah akan berakhir, sehingga mereka harus berkonsentrasi pada masalah utama mereka, masalah Palestina," jelasnya.
Hizbullah diyakini memiliki persenjataan roket yang mampu menghancurkan sebagian besar wilayah Israel. Israel sempat berperang melawan Hizbullah di Lebanon pada 2006 yang menewaskan lebih dari 1.200 orang Lebanon, yang kebanyakan warga sipil, dan 120 orang Israel yang kebanyakan tentara.
Israel menarik pasukannya dari Lebanon selatan pada 2000 dan mengakhiri pendudukan selama 22 tahun. Namun kedua negara tetap melakukan perang secara teknis dan kadang-kadang terjadi bentrokan di perbatasan.
UE akan Terus Mengakui Konsensus Internasional Yerusalem