REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Tiga pakar hukum internasional terkemuka menyatakan, pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un dan pejabat Korut lainnya harus diadili atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan tersebut dilakukan di kamp-kamp negara yang menahan tahanan politik secara otoriter.
Mereka yang bergabung dalam organisasi hak asasi manusia (HAM) internasional mengatakan kejahatan itu termasuk pembunuhan sistematis, penganiayaan terhadap orang Kristen, pemerkosaan, aborsi paksa, kelaparan, dan kerja paksa yang mengarah pada kematian yang tak terhitung jumlahnya.
Mereka membuat laporan yang didasarkan pada kesaksian dari para pembelot dan para ahli di kamp-kamp tersebut, yang diyakini memiliki antara 80 ribu dan 130 ribu narapidana. Laporan ini merupakan tindak lanjut dari penyelidikan PBB pada 2014, yang menemukan alasan masuk akal untuk menyimpulkan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan di Korut.
Ketiga pakar ini pernah bertugas di pengadilan internasional, yaitu Navi Pillay, seorang mantan komisaris tinggi PBB untuk HAM, Mark Harmon yang pernah bertugas di pengadilan yang mengadili Khmer Merah di Kamboja dan Thomas Buergenthal yang selamat dari Auschwitz saat masih kecil dan menjadi hakim di Pengadilan Internasional.
"Korea Utara terus menolak mengakui keberadaan penjara-penjara politik ini. Namun, citra satelit dan kesaksian cukup menguatkan tentang jumlah mantan tahanan, aktor negara yang mengetahui langsung tentang penjara dan menetapkan keberadaan sistem penjara ini, serta menerapkan praktik mengerikan yang terjadi di sana," tulis laporan itu, dikutip The Independent.
Para ahli hukum ini menyimpulkan, 10 dari 11 kejahatan terhadap kemanusiaan yang diakui secara internasional dilakukan oleh Korut. Mereka mengatakan banyak dari para tahanan itu adalah anggota keluarga dari orang-orang yang dituduh melakukan kesalahan politik.
Korban semacam itu dapat dikenai hukuman sewenang-wenang, penyiksaan, eksekusi, atau hukuman penjara seumur hidup. Ratusan ribu narapidana diperkirakan telah meninggal di kamp-kamp ini selama bertahun-tahun.
Laporan tersebut menunjukkan, tahanan yang kelaparan akan dieksekusi secara teratur saat tertangkap sedang mengais makanan. Sedangkan aborsi dilakukan dengan menyuntikkan oli motor ke rahim ibu hamil, menurut seorang mantan perawat tentara Korut.
Atas kejahatan yang terus dilakukan di kamp-kamp itu, hakim menyimpulkan, Kim, anggota Departemen Keamanan Negara, dan penjaga penjara telah bersalah. Mereka meminta masyarakat dunia untuk memulai persidangan di Pengadilan Pidana Internasional (ICC), atau pengadilan khusus, untuk meminta pertanggungjawaban rezim.
Meskipun tekanan internasional terhadap Korut atas catatan HAM yang mengerikan telah meningkat sejak dikeluarkannya laporan PBB pada 2014, masih ada sedikit kemungkinan rujukan untuk membawa Korut ke ICC. Cina dan Rusia, anggota tetap Dewan Keamanan PBB selalu menggunakan hak veto untuk menentangnya.