REPUBLIKA.CO.ID, COXS BAZAR -- Nurul Afsar adalah salah satu dari banyak warga Bangladesh yang mengalami peningkatan pendapatan akibat masuknya pengungsi Rohingya ke Bangladesh.
"Saya sangat senang. Semua orang mendapatkan keuntungan," kata Afsar (27) seperti dilansir The Guardian, Selasa (12/12).
Afsar yang berprofesi sebagai sopir akan mengantar pengungsi Rohingya di dalam dan sekitar kamp pengungsi Kutupalong dengan menggunakan taksinya.
Penghasilannya meningkat dua kali lipat sejak krisis pengungsi Rohingya dimulai pada Agustus saat lebih dari 620 ribu orang telah melarikan diri dari kekerasan di negara bagian Rakhine, Myanmar dan tiba distrik Cox's Bazar di selatan Bangladesh.
Kedatangan pengungsi ini telah menciptakan peluang ekonomi baru. "Dahulu kala, tidak ada pengungsi di sini dan jalannya buruk, dan saya tidak suka ke sini bahkan jika saya dibayar mahal. Tapi sekarang, jalannya oke dan ada begitu banyak penumpang jadi saya suka bekerja di sini,"kata Afsar.
Sebelum krisis saat ini, Afsar mengatakan dalam satu hari dia hanya menghasilkan uang sebesar 162 ribu rupiah. Namun saat ini dalam satu hari dia bisa memperoleh hingga 400 ribu rupiah.
Menurut Biro Statistik Bangladesh, pendapatan per kapita tahunan di Bangladesh sekitar 21 juta rupiah. Di Kutupalong, kamp yang paling padat penduduknya terdapat pasar yang ramai dan dikenal dengan Lamba Chiya Bazar.
Kios di pasar ini menjual semua keperluan sehari hari. Dari makanan, pakaian hingga keperluan rumah tangga lainnya. Abdul Shakkur (35) mengelola sebuah restoran di dekat pasar tersebut. Shakkur membuka usahanya dengan uang yang ia peroleh setelah delapan tahun bekerja sebagai buruh di Dubai.
Ia baru memulai usahanya sekitar dua bulan yang lalu. "Sebelumnya tidak ada pengungsi, tapi kemudian pasar dimulai dan saya pikir akan menjadi ide bagus untuk menjual makanan di sini," katanya.
Menurutnya, tidak banyak pengungsi Rohingya yang makan di restoran miliknya. Ini dikarenakan Rohingya sangat bergantung pada bantuan makanan. Namun restoranya dipenuhi oleh pedagang keliling Bangladesh untuk makan siang.
Shakkur membayar 1,4 juta rupiah untuk menyewa tempat tersebut, dan sekarang ia mempekerjakan tiga staf, yang menerima upah 100 ribu rupiah sehari. Dia menghasilkan keuntungan harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan istri dan orang tuanya.
Pedagang lainnya, Montudashyang memiliki toko Baba Mayer Archibad di Balawarhali juga merasakan hal serupa.
"Ini keuntungan terbaik dalam hidup saya," kata Montudash (40).
Ia mengatakan omset penjualannya naik lebih dari 100 persen berkat pengungsi Rohingya. Sebelum Rohingya datang, ia mengaku kesulitan untuk membiayai anak-anaknya karena sepinya penjualanan.
Montudash memperkirakan 95 persen pelanggannya adalah pengungsi, yang membeli banyak barang mulai dari pot, kabel hingga minuman ringan.
Sebagian pengungsi Rohingya juga melakukan usaha. Namun usaha yang mereka jalani tidak semudah yang dilakukan warga Bangladesh. Mir Kashim (70) dari Foira Bazar di kota Maungdaw di Myanmar, memiliki sebuah kios dengan lantai tanah dan bangku-bangku buatan sendiri. Selama dua bulan, dia telah menjual teh, rokok, kacang-kacangan dan kacang pinang.
"Saya membawa sejumlah uang dari Myanmar sebesar 500 taka (82 ribu rupiah). Lalu kami mendapat pinjaman 4.000 taka (650 ribu rupiah) dari masyarakat untuk membayar tanah," kata Kashim.
Setiap pagi, Kashim membeli barang secara kredit dari pedagang grosir di Kutupalong dan membayarnya kembali pada malam hari. Dia juga membayar sewa tanah kepada, seorang pejabat pemerintah daerah yang menguasai daerah tersebut dengan biaya 4000 rupiah sehari. Toko kecil Kashim menghasilkan sekitar 50 ribu rupiah dalam sehari.
Pengungsi lain telah menjual perhiasan atau menerima uang dari saudara di luar negeri untuk memulai bisnis mereka. Karena pengungsi Rohingya tidak diizinkan melakukan perjalanan, mereka hanya bisa membeli barang dari pedagang grosir di kota-kota di sekitar tempat kamp dibangun. Akibatnya, harga meningkat.