REPUBLIKA.CO.ID,DHAKA -- Doctors Without Borders atau Mdecins Sans Frontires (MSF) telah melakukan survei terhadap para pengungsi Rohingya di Bangladesh. Survei ini untuk mengetahui apa sebenarnya yang membuat mereka melarikan diri dari Rakhine, Myanmar.
Dalam hasil survei yang diterima Republika dari MSF, Kamis (14/12) sebagian besar pengungsi di Bangladesh adalah pengungsi baru yang tiba setelah tanggal 25 Agustus. Pada tanggal tersebut, sebuah operasi militer kontra-pemberontakan dilakukan di Negara Bagian Rakhine.
Selama tiga bulan berikutnya jumlah pengungsi telah mencapai 626 ribu orang. MSF pun melakukan enam survei untuk memperkirakan tingkat keselamatan dan kematian mereka.
Survei dilakukan di permukiman pengungsi Kutupalong, Balukhali dan Tasnimarkhola di distrik Cox's Bazar, Bangladesh. Survei menargetkan total populasi pengungsi yang diperkirakan sebesar 608.108 orang.
Sebanyak 82,8 persen di antaranya adalah pengungsi-baru yang tiba setelah 25 Agustus 2017. Survei ini dilangsungkan pada bulan November 2017. Empat survei dilakukan di utara, mencakup 367.718 pengungsi. Dua survei dilakukan di permukiman selatan mencakup 135.980 orang.
Di utara, tim survei menggunakan simple random sampling dengan sampel 905 rumah tanggal. Sementara selatan mencakup 1.529 rumah tangga. Secara total, tim survei melakukan wawancara terhadap 2.424 rumah tangga yang mewakili 11.426 orang.
Kepala keluarga menggambarkan struktur keluarga, memberikan tanggal, lokasi dan penyebab kematian anggota keluarganya. Hasil survei disebut mewakili 503.698 orang pengungsi baru dan 104.410 pengungsi lama yang tiba di Bangladesh sebelum 25 Agustus 2017.
Survei MSF ini mewakili 80,4 persen dari jumlah penduduk yang baru tiba di Bangladesh dari Myanmar. MSF mengumpulkan hasil survei kolektif dan mengolahnya dengan weighted analisis yang menggunakan perkiraan populasi relatif untuk masing-masing daerah tangkapan survei.
Hasilnya, kematian yang dilaporkan terjadi pada bulan pertama krisis (25 Agustus sampai 24 September 2017) mewakili 2,26 persen dari total populasi. Dengan 2,83 persen untuk penyebab kematian laki-laki dan 1,69 untuk persen penyebab kematian pada populasi perempuan.
Menurut hasil survei pada ribuan keluarga seperti disebut diatas, kekerasan adalah penyebab langsung mayoritas kematian yakni 71,7 persen. Jika dirinci, sebanyak 64,4 persen karena penembakan, 8,8 persen karena dibakar di dalam rumah, lima persen karena dipukuli, kekerasan seksual sebesar 2,6 persen dan ranjau darat sebesar satu persen.
Jika dinyatakan dalam angka kematian per 10 ribu orang per hari, maka data menunjukkan tingkat kematian yang sangat tinggi. Jika dihitung dengan angka kematian kasar (CMR-Crude Mortality Rate) maka hasilnya sebesar 8,02 kematian/10.000/hari di 31 hari setelah 25 Agustus 2017.
Angka kematian ini 13,3 kali lebih tinggi daripada CMR gabungan untuk populasi yang sama sebelum dimulainya krisis (untuk periode 27 Mei sampai 24 Agustus 2017). Dan juga 9,2 kali lebih tinggi daripada CMR gabungan untuk populasi yang sama setelah 31 hari pertama krisis (untuk periode 25 September sampai 30 Oktober 2017).
Survei ini memberikan bukti epidemiologis mengenai tingginya tingkat kematian di kalangan penduduk Rohingya karena kekerasan. Hasil survei juga menyatakan bahwa mereka menghadapi pembunuhan massal sebelum mereka tiba di Bangladesh.
Sebagai tambahan, angka kematian yang ditangkap di sini cenderung masih dibawah perkiraan, karena data tersebut tidak memperhitungkan orang-orang yang belum dapat meninggalkan Myanmar. Juga untuk yang seluruh anggota keluarganya terbunuh.