REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Presiden Parlemen Eropa pada Kamis (14/12) meminta Myanmar melindungi kebebasan pers dan mendesak pemerintah negara itu membebaskan dua wartawan Reuters yang ditahannya pekan ini.
"Saya berharap pihak berwenang di Myanmar akan membebaskan mereka secepat mungkin," kata Antonio Tajani kepada para wartawan saat pertemuan puncak para pemimpin negara-negara Uni Eropa di Brussel.
"Kasus ini harus menjadi perhatian, hak asasi manusia serta kebebasan pers harus dihormati," tambahnya.
Tanjani, mantan jurnalis dan saat ini merupakan politisi konservatif, mengatakan penahanan yang dikenakan terhadap Wa Lone dan Kyaw Soe Oo meningkatkan kekhawatiran soal krisis menyangkut Rohingya. Uni Eropa telah memberlakukan sanksi-sanksi terhadap Myanmar, yaitu berupa larangan penjualan senjata dan peralatan yang bisa digunakan untuk melakukan penindasan.
Dalam menanggapi krisis Rohingya, Uni Eropa pada Oktober juga membekukan undangan terhadap para petinggi militer Myanmar. Parlemen Uni Eropa memiliki peranan terbatas dalam hal kebijakan luar negeri.
Eksekutif kelompok negara-negara Eropa itu juga tengah mengamati kasus penahanan terhadap para jurnalis.
Pemerintah Myanmar mengatakan, Rabu, kepolisian telah menahan dua wartawan Reuters, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo. Kedua wartawan itu sebelumnya sedang bekerja membuat laporan tentang tindakan militer terhadap minoritas Muslim Roghingya di Negara Bagian Rakhine, yang telah menyebabkan hampir 650 ribu orang mengungsikan diri ke Bangladesh.
Kementerian Informasi mengatakan dalam pernyataan yang dimuat di halaman Facebooknya bahwa kedua wartawan dan dua polisi menghadapi dakwaan di bawah Undang-undang Kerahasiaan Pejabat. Berdasarkan UU yang dikeluarkan pada 1923 saat penjajahan Inggris itu, mereka terancam hukuman penjara selama maksimal 14 tahun.
Para wartawan "memperoleh informasi secara ilegal dengan niat untuk membagikannya dengan media asing," bunyi pernyataan, yang dilengkapi dengan sebuah foto kedua wartawan itu dengan tangan dalam keadaan diborgol.
Pernyataan menyebutkan keduanya ditahan di sebuah kantor polisi di pinggiran kota Yangon, kota utama di negara Asia Tenggara itu. Wa Lone dan Kyaw Soe Oo menghilang pada Selasa malam setelah mereka diundang untuk bertemu sejumlah pejabat kepolisian sambil makan malam.
Sopir Reuters, Myothant Tun, mengantar kedua jurnalis ke kompleks Batalion 8 dan sampai di tempat itu sekitar pukul 20.00. Kedua wartawan dan dua polisi kemudian memasuki sebuah restoran di sekitar daerah itu. Namun, Lone dan Oo tidak pernah kembali ke mobil.
Para pengungsi Bangladesh mengatakan gelombang pengungsian mereka dari negara dengan penduduk mayoritas beragama Budha itu dipicu serangan balasan militer di negara bagian Rakhine. Perserikatan Bangsa-bangsa menyebut serangan itu sebagai "contoh gerakan pembersihan etnis".
"Wartawan Reuters, Wa Lone dan Kyaw Soe Oe telah melaporkan peristiwa-peristiwa penting di Myanmar, dan hari ini kami ketahui bahwa mereka telah ditahan karena tugas yang mereka jalankan," kata Stephen J. Adler, pemimpin redaksi Reuters.
"Kami marah dengan serangan terang-terangan ini terhadap kebebasan pers. Kami meminta pihak berwenang untuk segera membebaskan mereka," katanya.
Juru bicara untuk pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi membenarkan kedua wartawan Reuters itu ditahan. "Tidak hanya wartawan Anda, tapi juga polisi-polisi yang terlibat dalam kasus itu," kata juru bicara Suu Kyi, Zaw Htay.
"Kami akan menindak polisi-polisi itu serta (kedua) wartawan."
Kedutaan besar Amerika Serikat di Yangon mengatakan dalam pernyataan yang dimuat di lamannya pada Rabu bahwa pihaknya "sangat prihatin atas penahanan yang sangat tidak biasa atas dua wartawan Reuters setelah mereka diundang untuk bertemu dengan pejabat-pejabat kepolisian di Yangon tadi malam".
"Agar demokrasi berhasil, wartawan harus bisa menjalankan tugas mereka dengan bebas," kata kedutaan AS. "Kami mendesak pemerintah (Myanmar) untuk menjelaskan penahanan ini serta memberikan akses kepada para wartawan."
Misi Uni Eropa di Yangon juga menyuarakan keprihatinan mereka.