REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT -- Seorang anak laki-laki Palestina berusia 14 tahun, koma setelah tentara Israel menembaknya dengan peluru karet. Ia ditembak dalam sebuah demonstrasi yang menentang keputusan AS soal Yerusalem.
Dilansir di Aljazirah, Senin (18/12), Mohammed Tamimi ditembak dari jarak dekat di Desa Nabi Saleh di Tepi Barat yang diduduki pada Jumat. Sepupu Mohammed, Manal mengatakan peluru itu mengenai bagian bawah hidung saudaranya dan mematahkan rahangnya.
"Darah itu mengalir dari wajahnya seperti air mancur. Itu sangat menakutkan, tidak ada yang tahu apa yang harus dilakukan. Kami takut memindahkannya. Dia pingsan dan kami takut dia sudah meninggal," kata saksi mata.
Akibat luka yang menyebabkan pendarahan internal, Mohammed harus menjalani prosedur selama enam jam yang melibatkan tujuh ahli bedah Palestina di rumah sakit Istishari dekat Ramallah. Para dokter mengeluarkan peluru tersebut dan membuatnya koma selama 72 jam.
"Situasinya sangat buruk. Dokter khawatir akan adanya gangguan terkait penglihatan dan pendengarannya," ujar Manal.
Keluarga masih belum mengetahui tingkat kerusakan yang dialami sampai Mohammed siuman. Warga Desa Nabi Saleh memadati rumah sakit tersebut untuk memberikan dukungan kepada keluarga Mohammed selama operasi. Banyak juga yang menyumbangkan darah.
Menurut Manal, sekitar 10 pemrotes terluka oleh peluru karet di Desa Nabi Saleh pada hari insiden tersebut. "Mereka Israel mengklaim peluru ini tidak berbahaya dan hanya digunakan untuk menakut-nakuti pemrotes. Tapi, itu tidak benar. Peluru ini bisa membunuh," kata Manal. Tentara Israel belum menyampaikan komentarnya terkait hal ini.
Peluru karet banyak digunakan pasukan keamanan Israel sebagai senjata untuk mengendalikan kerumunan di Tepi Barat yang diduduki. Kelompok hak asasi manusia dan aktivis mengecam tindakan Israel tersebut dengan mengatakan peluru karet terlalu mematikan untuk membubarkan demonstrasi.
Penggunaan peluru karet dilarang di Israel dan kota Yerusalem lebih dari satu dekade yang lalu setelah sebuah penyelidikan atas pembunuhan sedikitnya 12 warga Palestina Israel pada 2000. Pasukan keamanan Israel kemudian mulai menggunakan peluru berbentuk spons atau plastik di Israel dan Yerusalem, sambil terus menggunakan peluru karet di Tepi Barat yang diduduki.
Namun, baik peluru karet maupun plastik telah menyebabkan luka serius, dan bahkan kematian. Kelompok hak asasi manusia, Pertahanan untuk Anak-anak Internasional - Palestina (DCIP), mengatakan seorang anak laki-laki Palestina berusia 15 tahun tewas pada Desember tahun lalu oleh sebuah peluru karet di utara Ramallah. Lima bulan sebelumnya, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun meninggal karena peluru spons di Kota al-Ram.
Kelompok hak asasi Israel B'Tselem juga mengatakan sekitar 19 warga Palestina, termasuk 12 anak di bawah umur, dibunuh oleh peluru karet antara 2000 dan 2013. Aturan militer Israel menetapkan senjata pengendali kerumunan hanya boleh ditembak di tubuh bagian bawah, dan tidak pada anak-anak. Namun, pasukan keamanan secara khusus menargetkan anak-anak saat melakukan demonstrasi di Nabi Saleh.
Manal mengatakan ini dimaksudkan sebagai bentuk hukuman kolektif untuk menyakiti orang tua dan orang lain yang memilih untuk menolak pendudukan Israel. Menurutnya, banyak anak trauma dengan tindakan pasukan keamanan Israel di desa mereka.
Manal sendiri masih menderita sakit lutut setelah pasukan Israel menembaknya beberapa kali di lutut dengan peluru karet saat demonstrasi tiga tahun lalu. Direktur Asosiasi Hak Sipil yang berbasis di Tel Aviv di Israel, Ronit Sela mengecam penggunaan peluru karet Israel selama demonstrasi.