Selasa 19 Dec 2017 14:20 WIB

Pengungsi Suriah Ubah Kehidupan Sosial Armenia

Rep: Marniati/ Red: Ani Nursalikah
Pengungsi Suriah dari Aleppo.
Foto: REUTERS/Rodi Said
Pengungsi Suriah dari Aleppo.

REPUBLIKA.CO.ID, YEREVAN -- Seorang kurator seni dan tiga fotografer Armenia merayakan kehadiran pengungsi Suriah di masyarakat mono-etnik negara tersebut. Mereka mendokumentasikan migrasi tersebut sejak meletusnya perang di Suriah pada 2011.

Dilansir di Aljazirah, Senin (18/12), sebuah pameran foto dokumenter dibuka pada Jumat dan diadakan di ibu kota Armenia, Yerevan. Pameran ini mengusung tema Home to Home. Tema ini diambil untuk menyoroti fakta 20 ribu pendatang baru adalah keturunan orang-orang Armenia yang melarikan diri dari Turki ke Suriah selama perang lebih dari 100 tahun yang lalu.

Gagasan acara yang akan berlangsung sampai pertengahan Januari ini berasal dari Anna Kamay, seorang kurator seni. Dia mengaku terpesona oleh perubahan positif yang diperkenalkan para pengungsi di komunitasnya.

Kamay mengatakan pengungsi memulai usaha kecil, termasuk restoran baru dengan pelayanan yang baik. Hal ini menunjukkan etos kerja yang kuat dan bahkan berkilau di jalanan dengan mengenakan pakaian berwarna-warni.

"Orang-orang di Yerevan kebanyakan berpakaian dengan warna gelap. Orang-orang ini membawa banyak warna baru bersama mereka. Ada semacam hal baru di sini, membawa perubahan budaya dan ekonomi ke negara ini," katanya.

Ia mengatakan komunitas Armenia sangat kuat di Suriah, dan jika bukan karena perang, mereka tidak akan pernah pindah ke Armenia. "Jadi, ini adalah keadaan yang sangat tidak menguntungkan, namun pada akhirnya, kita memiliki apa yang kita miliki, dorongan untuk ekonomi lokal, modal manusia yang sangat berharga dan juga keragaman yang sangat kita kurangi di Armenia," tambahnya.

Menurut Kamay hanya waktu yang akan menunjukkan apakah para pengungsi akan tinggal di Armenia, pindah ke negara lain atau kembali ke Syria. Namun saat ini sangat penting baginya dan para fotografer untuk mendokumentasikan 20 ribu orang Armenia Suriah di negaranya.

"Ini adalah cerita tidak hanya migrasi tapi juga keberanian, ketahanan dan kemauan untuk memulai hidup baru," tambahnya.

Dengan penduduk mencapai 2,9 juta jiwa, jumlah awal pengungsi Suriah sebanyak 20 ribu menempatkan Armenia ke daftar negara-negara dengan rasio per kapita pengungsi tertinggi.

Integrasi mereka relatif mudah karena pengungsi memiliki etnisitas, agama dan bahasa yang sama walaupun dengan dialek yang berbeda. Salah seorang fotografer yang mengabadikan momen pengungsi Suriah, Anush Babajanyan mengatakan Armenia adalah monoetnis, sehingga mereka tidak tahu bagaimana cara menghadapi orang lain. Namun orang Armenia Suriah memiliki sifat terbuka dan ramah sehingga banyak membantu dalam kehidupan sosial.

"Bagian tersulit bagi para pengungsi adalah kurangnya kesempatan ekonomi.Orang tidak cenderung pindah ke Armenia, mereka cenderung pergi karena kesulitan ekonomi kita," katanya.

Beberapa orang Armenia Suriah bahkan menetap di Nagorno-Karabakh yang dikuasai Armenia, wilayah konflik yang diakui secara internasional sebagai bagian dari negara tetangga Azerbaijan dimana baku tembak lintas batas sering terjadi.

Mereka terpikat oleh akomodasi pedesaan gratis yang disediakan oleh pemerintah de facto dan prospek memberi makan keluarga dengan bekerja di wilayah tersebut. "Menarik karena di sana tidak begitu damai, tapi banyak orang yang pindah ke sana dan berkata: 'Jika saya berada di zona konflik, saya ingin berada dalam zona konflik yang berhubungan dengan bangsaku, berhubungan dengan konflik ini lebih banyak daripada konflik di Suriah'," kata Babajanian.

Potret kehidupan seorang pengungsi Suriah, Shant Klzy Muradian muncul dalam pameran tersebut. Pria berusia 21 tahun ini awalnya tidak bersedia untuk berpartisipasi dalam pameran ini. Namun akhirnya ia berubah pikiran.

"Awalnya, saya merasa tidak nyaman dengan hal itu, tapi sekarang saya senang melakukannya karena mungkin akan membantu pengungsi lain untuk mendapat dukungan lebih banyak saat mereka tiba," katanya.

Muradian memutuskan untuk mencari perlindungan di Armenia saat ia berusia 19 tahun. Penduduk asli kota Aleppo Suriah ini tiba di Yerevan pada 2015 dengan saudaranya. Ia meninggalkan orang tua dan kakek-neneknya. Ibunya tiba di Armenia baru-baru ini.

"Tidak mudah di sini, tapi saya tidak melihat kami pulang ke rumah, tapi mungkin dalam 10, 20 tahun kami akan mempertimbangkannya kembali," katanya.

Ia mengaku beruntung memiliki sepupu yang tiba empat tahun lebih awal di Armenia. Ini membantunya untuk mencari pekerjaan. Karena jika tidak memiliki saudara atau teman maka akan sulit memulai kehidupan di Armenia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement