REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Presiden Suriah Bashar al-Assad menolak campur tangan Prancis dalam menyelesaikan krisis di negaranya. Assad menuding Prancis memberi dukungan terhadap kelompok teroris di Suriah dan bertanggung jawab atas pertumparan darah di negara itu.
"Prancis mempelopori dukungan untuk terorisme dan tangan mereka direndam dalam darah Suriah sejak hari pertama dan kami tidak melihat bahwa mereka telah mengubah pendirikan mereka secara mendasar," kata Assad pada Selasa (19/12).
Assad menilai, hal ini yang menyebabkan Prancis tidak layak mengintervensi jalannya proses perdamaian di Suriah. "Mereka yang mendukung terorisme tidak berhak membicarakan perdamaian," ujarnya.
Pekan lalu, Prancis menuding Pemerintah Suriah tidak melakukan apapun untuk mencapai kesepakatan damai setelah hampir tujuh tahun dilanda peperangan. Prancis pun menuduh Pemerintah Suriah melakukan kejahatan massal di wilayah Ghouta Timur, tempat 40 ribu orang dikepung oleh pasukan pemerintah.
Pada Senin (18/12), Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan negaranya akan mendorong perundingan damai Suriah dengan menyertakan semua pihak yang terlibat dalam konflik di negara tersebut .Namun Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian menilai Assad tak layak berpartisipasi dalam proses transisi politik di Suriah.
"Assad tampaknya tidak berada dalamposisi untuk mengambil sikap politik selama dia bergantung pada Rusia dan Iran," kata Le Drian menerangkan.
Proses perundingan damai guna menyelesaikan krisis di Suriah tampaknya memang belum menemui titik temu. Pekan lalu, perundingan damai Suriah kedelapan yang digelar di Jenewa, Swiss, berakhir tanpa ada kesepakatan apapun. PBB selaku pihak yang memimpin negosiasi tersebut kecewa karena tak ada hasil apapun yang dicapai selama proses perundingan.
"Kami tidak mencapai negosiasi ini. Negosiasi dalam kenyataan tidak terjadi, kita tidakmemiliki negosiasi yang nyata," ujar Utusan Khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura seusai perundingan digelar.