REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pejabat tinggi hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyampaikan kemungkinan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, menghadapi tuduhan atas kematian dan pengusiran ribuan Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.
Zeid Ra'ad al-Hussein, Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia untuk PBB, mengatakan dirinya tidak akan terkejut jika pengadilan di masa depan mendapati bahwa aksi militer terhadap orang-orang Rohingya adalah sebuah bentuk genosida.
PBB sebelumnya telah menggambarkan kematian dan pemindahan orang-orang Rohingya sebagai contoh sesungguhnya dari pembersihan etnis. Awal bulan ini, Kepala HAM PBB menyerukan adanya penyelidikan tindak kejahatan.
Tapi kini, Zeid mengatakan dia tidak dapat mengesampingkan kemungkinan pemimpin militer dan pemerintah Myanmar untuk menghadapi tuduhan genosida. "Gravitasi dan skala tersebut mengarah ke tindak kejahatan yang memerlukan tanggapan oleh masyarakat internasional," katanya kepada BBC.
"Pertanyaan tentang intensionalitas akan kembali ke aksi genosida ... sangat sulit untuk menetapkannya karena ambang batasnya tinggi. Dan karena itulah kami terus mengatakan bahwa pengadilan harus melakukan ini. Tapi tidak akan mengejutkan saya jika, di masa depan, pengadilan membuat temuan semacam itu berdasarkan apa yang kita lihat.”
"Karena organisasi dan perencanaan yang sepertinya sudah mengarah kesana [tindakan genosida]. Kami bisa menyimpulkan itu dari tindakan di lapangan."
'Kejahatan kelalaian'
Zeid mengatakan dia secara pribadi telah memeringatkan Suu Kyi untuk menghentikan pembunuhan tersebut dalam sebuah panggilan telepon awal tahun ini. Tapi sayangnya tidak ada tindakan yang dilakukan. "Dia bilang 'ini mengerikan, tentu saja kami akan memperhatikan masalah ini'," katanya.
"Tapi kemudian beberapa hari setelah itu mereka mulai mempertanyakan metodologi yang telah kami pilih. Mereka mulai mempertanyakan apakah faktanya benar."
Tentu saja, Suu Kyi mungkin telah memberi menyetujui tindakan militer terhadap orang-orang Rohingya. Dan Zeid menunjukkan bahwa dia juga mungkin bersalah karena gagal untuk bertindak.
"Ada kejahatan karena tindakan kelalaian," katanya.
"Jika sampai diketahui [kejahatan terhadap orang-orang Rohingya] ini dilakukan, dan Anda tidak melakukan apapun untuk menghentikannya maka Anda juga bisa bersalah atas hal itu.”
"Mengingat skala operasi militer yang sudah dengan jelas terlihat, ini pastinya diambil [berdasarkan] keputusan pada tingkat yang cukup tinggi.”
"Berita-berita di media internasional dibanjiri oleh gambar-gambar desa yang terbakar, dan berbagai klaim bahwa kekejaman telah dilakukan. Jadi, tentu ada yang bisa membuat argumen bahwa ada waktu yang cukup untuk menghentikan berbagai operasi itu dan untuk melakukan sebuah penyelidikan. Tapi itu tidak dilakukan, jadi saya cukup yakin, bahwa ya, yurisdiksi masa depan di pengadilan mungkin akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. "
Militer klaim itu adalah operasi yang sah
Myanmar membantah melakukan kekejaman terhadap Rohingya. Para pemimpin militer mengatakan tindakan keras tersebut merupakan operasi kontra-pemberontakan yang sah.
Sekitar 660 ribu orang Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh sejak akhir Agustus lalu, ketika gerilyawan Rohingya menyerang sejumlah pos militer dan perbatasan Myanmar, memicu reaksi militer.
Zeid mengatakan tanggapan Myanmar yang "sembrono" terhadap keprihatinan serius masyarakat internasional telah membuatnya khawatir krisis saat ini bisa menjadi "fase pembukaan dari sesuatu yang jauh lebih buruk".
Dia juga mengatakan dirinya khawatir kelompok jihad dapat terbentuk di kamp-kamp pengungsian besar di Bangladesh dan melancarkan serangan di Myanmar, mungkin menargetkan kuil Buddha. Tidak jelas pengadilan mana yang bisa mengadili dugaan kekejaman itu.
Myanmar bukanlah anggota Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang berarti rujukan ke pengadilan tersebut memerlukan dukungan Dewan Keamanan PBB. Tapi sekutu Myanmar, Cina bisa memveto langkah seperti itu.
PBB mendefinisikan genosida sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk menghancurkan kelompok nasional, etnis, ras atau agama secara keseluruhan atau sebagian. Meski jarang, keputusan semacam itu telah digunakan melawan pelaku kekejaman di Bosnia, Sudan dan oleh kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah.
Rohingya telah mengatakan kepada penyidik PBB tentang "pola pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan pembakaran" yang konsisten dan metodis.
ABC/Reuters
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.