REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA - Myanmar dan Bangladesh membentuk sebuah kelompok kerja (pokja) gabungan pada Selasa (19/12), untuk mengawasi pemulangan Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar. Namun awal pemulangan mereka kemungkinan akan tertunda.
Berdasarkan sebuah kesepakatan yang ditandatangani di Dhaka, 30 anggota pokja tersebut akan mengembangkan prosedur untuk memulai pemulangan sukarela, pemukiman kembali, dan reintegrasi pengungsi Rohingya. Lebih dari 630 ribu warga Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh sejak militer Myanmar melancarkan tindakan keras pada Agustus lalu.
Bulan lalu, kedua negara sepakat pemulangan akan mulai dilakukan pada 21 Januari mendatang. Namun seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Bangladesh yang menghadiri pertemuan pembentukan pokja mengatakan prosesnya kemungkinan akan tertunda beberapa minggu.
Dalam kesepakatan itu, Myanmar juga berjanji akan mengambil tindakan untuk menghentikan arus pengungsi Rohingya ke Bangladesh. Myanmar mengatakan akan mengembalikan keadaan normal di Negara Bagian Rakhine dan mendorong pengungsi untuk kembali dengan sukarela ke tempat tinggal mereka yang sebenarnya atau ke tempat yang aman sesuai pilihan mereka.
Sejumlah kelompok hak asasi manusia (HAM) sempat memperingatkan, warga Rohingya mungkin akan menghadapi tindak kekerasan lagi jika mereka dikirim kembali ke Myanmar.
Kesepakatan kali ini mengikuti kerangka yang telah ditetapkan dalam sebuah kesepakatan pemulangan yang sama pada 1992. Kesepakatan 1992 telah ditandatangani kedua negara setelah sebelumnya juga terjadi kekerasan di Myanmar.
Berdasarkan kesepakatan tersebut, warga Rohingya diminta untuk menyerahkan dokumen-dokumen residensi, yang hanya sedikit, sebelum diizinkan untuk kembali ke Myanmar.
Pemerintah Myanmar yang beragama Buddha menolak untuk menerima Muslim Rohingya sebagai kelompok minoritas, meskipun mereka telah tinggal di negara ini selama beberapa generasi. Rohingya dilucuti kewarganegaraannya pada 1982 dan tidak mendapatkan hak apapun.