REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Tahun ini, bencana tsunami di Aceh memasuki tahun ke-13. Terlepas dari parahnya situasi di provinsi ujung Barat Indonesia itu tahun 2004 lalu, kini sebagian besar korban selamat telah melanjutkan hidup mereka.
Lebih dari satu dekade berlalu, bagaimana kini mereka memandang tsunami? Sejumlah sineas muda Australia membidik kisah mereka dalam film dokumenter berjudul Aceh: Beyond the Tsunami.
Pengalaman pribadi seorang rekan ketika mengunjungi Aceh mengilhami sekelompok sineas muda Australia untuk memproduksi Aceh: Beyond the Tsunami. Tim Barretto, sang sutradara, berkesempatan mengunjungi kota Banda Aceh, 8 tahun setelah bencana tsunami.
Kepada rekan-rekannya sesama sineas, Tim mengaku terkesan akan keindahan alam dan keramahan masyarakat Aceh.
“Dia (Tim) membicarakan tentang betapa indahnya tempat ini (Aceh) sebagai bagian dari Indonesia, dan betapa terbukanya masyarakat di sana ketika berbicara tentang tsunami. Jadi kemudian kami sadar, ada yang bisa kami kerjakan menyambut 10 tahun tsunami,” kata Melanie Filler, salah satu produser ‘Aceh: Beyond the Tsunami’, kepada Nurina Savitri dari ABC.
Melanie lantas menuturkan, film dokumenter berdurasi 70 menit ini memang awalnya digarap untuk menyambut peringatan 10 tahun tsunami, 3 tahun lalu. “Ya, sejujurnya kami mulai memproduksi film ini saat peringatan 10 tahun tsunami, tapi kami butuh 3 tahun untuk menyelesaikannya.”
Pengalaman Tim adalah sebuah awal, namun bagi Melanie, film ini menceritakan interpretasi warga Aceh mengenai Tsunami itu sendiri dan bagaimana mereka terus melanjutkan hidup dan mengatasi perubahan.
“Saya sangat terkejut ketika warga lokal bilang mereka tidak pernah mendengar tentang tsunami saat itu, mereka tak tahu menahu apa yang terjadi. Mereka benar-benar terkejut akan apa yang terjadi. Itu adalah sesuatu yang tidak saya perkirakan sebelumnya.”
Di sisi lain, pemberitaan mengenai tsunami 2004 dirasa belum banyak mengungkap kisah personal warga Aceh.
“Saya merasa, pengalaman para penyintas di Aceh tertutupi dengan cerita-cerita dari negara lain yang terdampak oleh tsunami 2014, meski Aceh paling banyak menderita kerugian. Saya harap film ini membawa kesadaran akan budaya dan sejarah dari bagian unik Indonesia, tetangga dekat Australia, ini,” ujar Tim Barretto dalam keterangan pers-nya.
Sepuluh kisah penyintas tsunami ditampilkan dalam ‘Aceh: Beyond the Tsunami’. Bagi para kru, pertemuan mereka dengan warga lokal pengisi film menyampaikan sisi lain dari bencana tsunami.
“Sebagian besar orang yang kami temui, kami berbicara dengan orang dari berbagai latar belakang dan demografi, bahkan dengan mereka yang paling berpendidikan dan sukses, mereka bilang kejadian itu sempat dipikir sebagai kiamat. Mereka tak punya pemahaman ilmiah mengenai tsunami,” kata Melanie kepada ABC.
“Dan saya pikir dari situlah interpretasi agama muncul, dari ketidaktahuan, dari ketidakpunyaan pemahaman ilmiah,” sambungnya.
Nurmalawati adalah salah satu penyintas yang diwawancarai tim ‘Aceh: Beyond the Tsunami’. Hikmah yang ia petik dari bencana massif 13 tahun lalu itu begitu mencerminkan analisa Melanie.
“Mungkin Allah mengingatkan kami tentang kesalahan-kesalahan yang kami perbuat, sehingga kami berhenti berperang dan berdamai. Mungkin Allah menguji kami waktu itu,” ujarnya dalam keterangan media.
Di balik layar, bertemu dengan puluhan penyintas yang bersedia mengungkap kisah mereka membawa kesan tersendiri bagi Melanie dan juga kawan-kawannya, sesuatu yang mereka anggap lebih berharga dibanding produksi film itu sendiri.
"Kami bertemu dengan banyak orang yang kehilangan hampir seluruh keluarganya, dan betapa mereka terus maju dan melanjutkan hidup. Ada satu orang secara khusus, yang kehilangan seluruh keluarganya, dan terakhir kali kami bicara kepadanya ia bilang ‘saya bisa menikah lagi dan punya anak lagi, itu memotivasi saya’. Itu hal baik yang saya dengar sepanjang pembuatan film ini,” kata Melanie.
Film dokumenter Aceh: Beyond the Tsunami diputar perdana di Banda Aceh pada 17 Desember lalu dan akan mulai ditayangkan di Australia awal Januari 2018.