REPUBLIKA.CO.ID,Australia mengakhiri keterlibatan langsungnya dalam serangan udara melawan militan kelompok Negara Islam (ISIS) di Irak dan Suriah setelah sebuah perlawanan yang "sulit dan brutal". Menteri Pertahanan Australia, Marise Payne, pada hari Jumat (22/12) mengumumkan bahwa jet F-A-18F Super Hornet milik Angkatan Udara akan dibawa kembali ke Australia.
Pengumuman itu disampaikan setelah Perdana Menteri Irak mengumumkan kemenangan dalam perang melawan kelompok teroris yang telah mendeklarasikan wilayah 'kekhilafahan' di Irak dan Suriah. ISIS baru-baru ini mengalami kerugian dari benteng terakhirnya di Raqqa, yang mereka klaim sebagai "ibukota".
Hingga 80 persen dari kota di utara Suriah diperkirakan hancur dalam pertempuran antara pasukan pimpinan Kurdi dan militan ISIS. Senator (Menteri) Payne mengatakan, Australia telah memberikan kontribusi signifikan dalam perang melawan kelompok ISIS.
"Mengingat keberhasilan yang telah dicapai di medan perang oleh pasukan keamanan Irak, kontribusi Australia sekarang berada pada titik transisi," katanya. "Setelah diskusi dengan Irak dan anggota Koalisi Internasional, Pemerintah Australia telah memutuskan untuk membawa pulang enam jet tempur Super Hornet dari Timur Tengah."
Payne mengatakan, tidak ada keraguan bahwa serangan udara Australia membantu pasukan keamanan Irak di lapangan. Ia menjelaskan, keterlibatan militer Australia di Irak akan terus berlanjut dengan tetap menempatkan pesawat pengawas dan pengisian bahan bakar di wilayah tersebut. "Kami hadir atas undangan Pemerintah Irak," kata Senator Payne.
"Saya mengakui ini adalah upaya semua pihak yang terlibat dalam perlawanan ini, sudah sejak lama, ini sangat sulit dan telah berlangsung brutal."
Kontribusi Angkatan Pertahanan Australia (ADF) dalam koalisi pimpinan AS melawan kelompok ISIS di Irak dan Suriah terdiri dari sekitar 780 staf ADF. Sebagai bagian dari operasi, ADF mengerahkan Kelompok Satuan Udara termasuk enam pesawat Super Hornets, pesawat pengintai E-7A Wedgetail, dan pesawat pengisi bahan bakar multifungsi.
Pesawat koalisi melakukan ribuan serangan untuk mendukung pasukan darat Irak dan Kurdi. Namun sejumlah pemantau mengklaim ribuan warga sipil terbunuh dalam serangan udara tersebut.
Satuan Tugas Gabungan dari kubu koalisi mengatakan, hanya 0,35 persen dari seluruh "28.198 serangan yang melibatkan 56.976 keterlibatan terpisah" -yang dilakukan antara bulan Agustus 2014 hingga Oktober 2017 -menghasilkan laporan korban sipil yang kredibel.
"Jumlah total laporan korban sipil yang mungkin ada adalah 1.790. Jumlah total laporan korban jiwa yang dapat dipercaya selama periode ini adalah 199," sebut Laporan Korban Sipil Bulanan kubu koalisi (November 2017).
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.