REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Kaum Muslim di Amerika Serikat (AS) kini semakin rentan terhadap serangan fanatisme dan Islamofobia. Kondisi tersebut terjadi sejak Donald Trump menjadi Presiden AS.. Aktivis Muslim Ibrahim Hooper bahkan menilai Islamofobia di bawah Trump lebih parah daripada pascaserangan 9/11.
Menandai setahun kepemimpinan Trump, Hooper menyatakan para Muslim merasa lebih khawatir dan takut menunjukkan keyakinannya. Sejumlah wanita Muslim ada yang memutuskan menanggalkan jilbab saat keluar rumah.
"Tidak hanya Muslim AS yang merasa cemas. Kami telah melihat kaum kulit putih memamerkan supremasinya di bawah kepemimpinan Presiden Trump," kata pendiri The Council on American-Islamic Relations dikutip dari The Independent, Rabu (27/12).
Ia menyatakan kaum kulit berwarna dan minoritas banyak disudutkan oleh tindakan Trump. Termasuk di antaranya kebijakan larangan masuk AS bagi penduduk negara Islam.
"Keadaan ini lebih buruk daripada pascatragedi 9/11. Trump menggunakan kekuatan dan pengaruhnya untuk menggerakan supremasi kulit putih dan fanatisme," ujar Hooper.
Menurutnya usai serangan WTC pada 11 September 2001 orang-orang fanatik masih tersembunyi. Namun ketika konglomerat properti tersebut duduk di kursi presiden, mereka secara terang-terangan menampakkan diri dan bangga dengan fanatismenya.
Lembaga yang dipimpin Hooper telah mengumpulkan catatan kasus Islamofobia sepanjang tahun ini. Beberapa kasus disebut tidak terekspos oleh media.Antara Januari sampai September tercatat ada 1.656 kasus prasangka buruk dan 195 kasus yang menunjukkan kebencian terhadap Muslim. Angka prasangka ini naik sembilan persen jika dibandingkan tahun lalu. Sedangkan pada kasus kriminalitas karena kebencian naik 20 persen dibandingkan 2016.
"Berdasarkan perkiraan sementara, cukup jelas bahwa 2017 adalah tahun terburuk di mana kaum Muslim menerima perlakuan tidak menyenangkan dari anti-Muslim sejak kami menerapkan pendokumentasian," jelas koordinator riset dan advokasi Zainab Arain.