Jumat 29 Dec 2017 03:54 WIB
Indonesia Produsen Sampah Makanan Terbesar Kedua Dunia

PBB Ajak Masyarakat Dunia Kurangi Sampah Makanan

Rep: Sri Handayani/ Red: Agus Yulianto
Saat masyarakat menikmati Car Free Day dan memakan berbagai kuliner, Rachmat dan Bagas memungut sampah sisa makanan kuliner di Kawasan Car Free Day jalan Ahmad Yani Kota Bekasi, Ahad (12/11).
Foto: republika/Farah Noersativa
Saat masyarakat menikmati Car Free Day dan memakan berbagai kuliner, Rachmat dan Bagas memungut sampah sisa makanan kuliner di Kawasan Car Free Day jalan Ahmad Yani Kota Bekasi, Ahad (12/11).

REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Badan Pangan Dunia (FAO) mengajak masyarakat dunia mengurangi sampah makanan (food waste) sebagai salah satu resolusi tahun baru. Lembaga ini memperkirakan sepertiga dari produksi pangan dunia atau sekitar 1,3 miliar ton makanan terbuang sia-sia setiap tahun.

"Musim liburan menjadi masa pemborosan makanan dan peningkatan sampah makanan di beberapa bagian dunia," begitu bunyi pernyataan FAO di laman resmi fao.org seperti dikutip Retail Detail Europe.

Ajakan ini disebarkan melalui tagar #NotWasting. Dengan mengurangi sampah makanan, pemborosan tenaga kerja, air, energi, dan sumber daya manusia untuk menciptakan makanan juga dapat dikurangi.

Pada 2016, the Economist Intelligence Unit (EIU) menyatakan Indonesia sebagai produsen sampah makanan terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi. Penelitian itu berjudul "Memperbaiki Makanan: Menuju Sistem Pangan Berkelanjutan."

Dalam studi itu disebutkan, setiap orang di Indonesia rata-rata memproduksi sekitar 300 kilogram sampah makanan setiap tahun. Tingginya pemborosan makanan di Indonesia disinyalir terjadi karena infrastruktur yang kurang memadai antara daerah-daerah pengasil makanan dengan pusat populasi utama. Ini mengakibatkan keterlambatan distribusi pangan.

"Ada masalah dalam rantai pasokan. Kita sering mengalami masalah dengan daya tahan produk makanan saat memasuki pasar atau menjangkau pelanggan," ujar Spesialis Energi Terbarukan CDM Smith, Aretha Aprilia seperti dikutip Jakarta Globe, Rabu (6/7).

Aretha menambahkan, konsumen di Indonesia juga turut berperan dalam pemborosan makanan. Ia mengatakan, separuh sampah rumah tangga di Jakarta berasal dari limbah dapur yang membusuk dan menghasilkan gas metana. Selain menambah jumlah sampah makanan, hal ini juga berkontribusi terhadap efek rumah kaca dan perubahan iklim.

Kondisi ini sangat ironis jika dibandingkan dengan data kekurangan gizi di Indonesia yang mencapai 7,6 persen menurut data (EIU). Indonesia menempati urutan ketiga setelah Ethiopia dan India. Lebih dari 36 persen balita di Indonesia menderita stunting karena kekurangan gizi berkepanjangan dan 14 persen anak-anak menderita kehilangan massa otot akut. Pemerintah diharapkan membangun infrastruktur dan kesadaran masyarakat untuk mengurangi pemborosan makanan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement