REPUBLIKA.CO.ID, BANGLADESH -- Di tengah keterbatasan alat medis, para tenaga kesehatan di kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh harus berjuang mengatasi wabah difteri. Penyakit ini telah membunuh hampir dua lusin orang.
Reuters melaporkan Dokter Tanpa Batas (MSF) telah merawat sekitar 2.000 pasien hanya dalam dua pekan terakhir. Setiap harinya, mereka menerima sekitar 100 kasus baru.
Koordinator Medis Darurat MSF, Crystal van Leeuwen, mengatakan karena terbatasnya jumlah petugas medis terlatih, MSF hanya berhasil menyediakan antitoksin untuk 12 pasien setiap hari. Karena begitu banyak orang yang terkena difteri, jumlah itu tak lagi mencukupi.
"Ini seperti pedang bermata dua. Kita membutuhkan sumber daya manusia untuk mengelolanya dan kita memerlukan lebih banyak antitoksin pada saat bersamaan," ujar dia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggambarkan difteri sebagai penyakit menular dan tersebar luas dengan potensi epidemi. Tingkat kematian pada kasus ini mencapai 10 persen. MSF menyebut difteri sebagai penyakit lama yang terlupakan di sebagian besar negara di dunia berkat peningkatan vaksinasi.
Pada Februari, WHO melaporkan bahwa pasokan serum difteri antitoksin telah dibatasi selama bertahun-tahun. Kekurangan ini diperkirakan akan berlanjut hingga 2018. Pemerintah Inggris mengatakan telah mengirim sebuah tim yang terdiri dari 40 dokter, perawat, dan petugas pemadam kebakaran ke Bangladesh. Mereka diterjunkan selama enam pekan untuk mengawasi wabah difteri menyusul permintaan dari WHO dan pemerintah setempat.
Seperti diketahui, militer Myanmar menindak keras umat Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine menyusul serangan dari militan Rohingya ke pangkalan militer dan pos polisi pada 25 Agustus. Lebih dari 650 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh sejak saat itu. Data terbaru PBB menyebutkan, 200 ribu orang telah terlebih dahulu mengungsi.
Di Bangladesh, para pengungsi itu tinggal di kamp-kamp padat penduduk. Tempat tinggal mereka berupa gubuk yang terbuat dari bambu dan lembaran plastik. Akses air bersih, sanitasi, dan layanan kesehatan di kamp-kamp itu sangat buruk.
Advertisement