REPUBLIKA.CO.ID, HOUSTON -- Venezuela sedang menyelidiki mantan raja minyak Rafael Ramirez dalam kaitannya dengan kasus korupsi senilai 4,8 miliar dolar AS (sekitar Rp65 triliun) di Wina, kata kantor kejaksaan negara, Jumat.
Ramirez adalah mantan kepala perusahaan perminyakan negara, PDVSA, dan pernah menjabat sebagai menteri perminyakan yang sangat berpengaruh.
Jaksa Tarek Saab mengatakan, Ramirez dan setidaknya empat pejabat perminyakan lainnya dari negara OPEC Amerika Utara itu menjual minyak mentah di bawah harga pasar sebagai imbalan atas suap.
Ramirez, yang memimpin PDVSA selama satu dekade, mengatakan kepada Reuters bahwa tuduhan itu merupakan "kebohongan yang menyolok".
Pihak berwenang Venezuela telah memperingatkan pada awal bulan ini bahwa mereka berencana menyelidiki sang bekas raja minyak. Penyidikan dijalankan di tengah peningkatan upaya pembersihan tindakan korupsi, yang telah membuat puluhan pejabat tinggi perminyakan ditahan.
"(Ramirez) tampaknya merupakan tokoh intelektual utama di balik apa yang telah terjadi," kata Saab, yang telah mengundang Ramirez ke Venezuela untuk membela diri.
Venezuela telah mengeluarkan perintah pencopotan Ramirez dari jabatannya sebagai wakil negara tersebut untuk Perserikatan Bangsa-bangsa di New York bulan lalu.
"Apa yang dikatakan jaksa bukan hanya tidak benar, tapi juga menunjukkan kebodohan yang parah," kata Ramirez.
Ia mengambahkan bahwa kantor PDVSA di Wina tidak bertugas untuk menjual minyak melainkan memantau harga ekspor minyak mentah Venezuela.
Dalam pengumumannya pada Jumat, Saab juga melaporkan penahanan terhadap Nelida Izarra, mantan petinggi kantor cabang PDVSA di Wina, atas dugaan terkait dengan pembelian dan penjualan minyak mentah yang mencurigakan.
Saab juga mengatakan ia telah memerintahkan penahanan terhadap dua pejabat PDVA lainnya yang bekerja di Austria, yaitu Bernard Mommer dan Irama Quiroz, serta atas pengacara bernama Mariana Zerpa.
Belum ada keterangan soal di mana Izarra ditahan atau di negara mana para tersangka lainnya berada saat ini.