Senin 01 Jan 2018 07:15 WIB
Outlook 2018

Refleksi untuk Tetap Waspada Setelah ISIS Rontok di Raqqa

Noor Huda Ismail
Foto: AP Photo
Anggota ISIS ketika melakukan parade di Raqqa, Suriah.

Kedua, sebagai bangsa kita juga mempunyai pekerjaan rumah melakukan pendampingan kepada para deportan yang jumlahnya tidak kurang dari 430-an orang. Mereka ini para pendukung ISIS yang gagal masuk Suriah dan dideportasi di Turki, Singapura, atau Malaysia. Lebih dari 50 persen dari mereka ini adalah wanita dan anak-anak.

Dengan rontoknya ISIS di Raqqa, bukan tidak mungkin radikalisasi mereka ini justru terjadi di Tanah Air karena mereka gagal bergabung dengan kekhilafahan yang mereka dambakan. Hal ini misalnya terbaca pada kasus tertangkapnya mantan BMI Hong Kong yang telah dideportase dan kemudian ingin diduga terlibat dalam jaringan aktif terorisme di Indonesia.

Oleh karena itu, pada 2018 ke depan, kita harus menghadapi ketidakpastian nasib para WNI yang telah bersama ISIS setelah rontoknya Raqqa. Apakah mereka telah tewas, ditahan oleh aparat Kurdi atau kocar-kacir di negara-negara perbatasan Suriah seperti Turki dan Irak? Mungkinkah sebagaian dari mereka justru telah kembali ke Tanah Air atau mampir dulu ke Filipina Selatan bergabung dengan kelompok ISIS di sana?

Dengan maraknya media sosial yang bersandi seperti Telegram, bukan tidak mungkin mereka juga akan terus mengobarkan semangat kebenciaan dengan aksi teror kepada negara kita yang dianggap sekuler ini. Di sinilah tugas aparat intelgen kita untuk selalu memantau perkembangan ini secara seksama, curiga, dan waswas.

Sebagai masyarakat, kita pun harus mengambil peran yang aktif dengan memberikan kepada mereka kesempatan kedua untuk memulai hidup baru. Ini tentu ajakan yang tidak mudah. Suka atau tidak, faktanya mereka telah ‘berkhianat’ kepada konsep kebinekaan yang telah kita pilih usung sebagai bangsa bukan? 

Namun, siapa di antara kita yang tidak pernah salah dalam mengambil keputusan dalam hidup? Apalagi beberapa yang penulis temui, di antara mereka ini adalah para perempuan setengah baya, remaja bahkan anak-anak.

Kisah-kisah pilu mereka di sana dapat diolah dengan baik untuk dijadikan pembelajaran bersama agar kita tidak mudah percaya dengan apa yang kita lihat, dengar dan tampilkan di media sosial meskipun itu dibalut dengan dalil-dalil agama. Kita perlu berpikir kritis dan melakukan pembanding dengan berbagai pendapat.

Semoga, kedua refleksi penulis ini bisa menjadi agenda utama politik nasional kita. Tentu ini bukan hal yang gampang. Selain isu ini sangatlah sensitif karena berkaitan dengan isu agama namun juga terkait dengan konstalasi politik luar negari seperti kesombongan Amerika Serikat di bawah Donald Trump terkait dengan isu Palestina yang bukan tidak mungkin membangkitkan macan tidur para aktifis jihad kita di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement