REPUBLIKA.CO.ID,KAIRO -- Negara liga Arab akan mengadakan pertemuan guna membahas status Yerusalem. Hal itu dilakukan untuk menentang rencana Amerika Serikat (AS) memindahkan kedutaan besar ke Yerusalem. Rapat tersebut rencananya akan digelar pada 1 Februari nanti.
Pertemuan itu telah sebelumnya diinisiasi oleh rapat darurat enam kementerian luar negeri arab di Amman, Yordania pekan lalu. Mereka berencana memulai upaya diplomatik guna meyakinkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk segera mengakui negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai Ibu Kotanya.
Dalam rapat darurat tersebut dilakukan menyusul pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel pada 6 Desember kemarin. Hal tersebut dinilai telah melanggar peraturan internasional, tidak berkekuatan hukum dan menyebabkan timbulnya kekerasan di kawasan.
Pengakuan Trump atas status Yerusalem sangat berbeda dengan kebijakan Presiden AS sebelum dia. Pengakuan sepihak itu juga dinilai telah membahayakan perdamaian di Timur Tengah dan mengganggu ketenangan di dunia Arab serta negara Barat lainnya.
Sementara, Yerusalem kerap menjadi inti perbincangan damai Palestina-Israel. Negara yang kini dipimpin Mahmoud Abbas itu menginginkan kota yang dicaplok Israel pada 1967 itu menjadi ibu kota mereka di masa depan.
Yerusalem merupakan tempat tinggal suci bagi umat Islam, Yahudi dan Kristen. Kota tersebut adalah salah satu hambatan terbesar untuk mencapai kesepakatan damai antara Israel dan Palestina.
Sebelumnya Menteri Kerjasama Regional Israel Tzachi Hanegbi mengatakan, harapan rakyat Palestina yang menginginkan Yerusalem Timur sebagai Ibu Kota masih terbuka. Dia mengatakan, pernyataan sepihak Trump seharusnya tidak menghalangi klaim mereka atas kota tersebut.
"Palestina dapat mengklaim Yerusalem Timur sebagai ibu kota dan kita dapat menegosiasikan sebuah kesepakatan. Meskipun kami merampas Yerusalem Timur, tetap saja masih bisa dinegosiasikan," kata Tzachi Hanegbi.