REPUBLIKA.CO.ID, DAKAR -- Republik Demokratik Kongo berpacu untuk mengatasi penyebaran wabah kolera, yang melanda desa bergolak dan menyebar dengan cepat di ibu kota yang padat. Demikian kata pejabat dan petugas kesehatan pada Selasa.
Wabah kolera terjadi secara tetap di kawasan Afrika Tengah yang luas. ''Tapi, ini yang terburuk selama lebih dari 20 tahun,'' kata Didier Bompangue, koordinator pemerintah untuk penanggulangan kolera
Penyakit itu telah menewaskan setidak-tidaknya 1.190 orang dan menyebar ke 24 dari 26 provinsi di negara itu sejak muncul pada Juli, kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam pemaparan. Sekitar 55.000 penderita tercatat sejauh ini.
Perhatian utama Kongo sekarang adalah pada Kinshasa, ibu kota dengan 12 juta orang dengan kebersihan buruk dan kekurangan air minum, yang membantu penyebaran penyakit terbawa air itu. "Di tingkat nasional, situasinya membaik. Jika di sana adalah satu tempat yang membuat kita khawatir itu Kinshasa," kata Bompangue kepada Thomson Reuters Foundation.
Penyakit itu telah menewaskan 28 orang dan menginfeksi 411 orang di Kinshasa sejak akhir November. Pemerintah telah membuka pusat pengobatan gratis di seluruh kota, namun pasien harus diisolasi dengan cepat atau akan terus menyebar.
"Angka tersebut naik sangat cepat (di Kinshasa)," kata Caroline Holmgren, perwakilan negara untuk badan amal medis Medecins Sans Frontieres (MSF).
Namun, banyak orang juga sekarat di daerah pedesaan dimana pusat kesehatan telah hancur karena konflik. ''Pasien tidak memiliki akses terhadap pengobatan dasar,'' kata beberapa lembaga bantuan.
Kebanyakan orang sembuh dari kolera jika segera diobati dengan garam rehidrasi oral. Tapi, pasien bisa tewas dalam hitungan jam jika tidak mendapat pengobatan.
Sekitar 60 persen fasilitas kesehatan di wilayah Kasai tengah tidak berfungsi sejak pertempuran pecah antara pasukan pemerintah dan milisi lokal di sana pada tahun 2016, kata Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC).
Angka fatalitas kasus di wilayah ini adalah 14,5 persen dibandingkan dengan 2,1 persen secara nasional, menurut WHO. "Obatnya tidak mahal, masalahnya adalah kekurangan akses," kata Direktur IFRC di Afrika, Fatoumata Nafo-Traore.