REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan tetap memberikan keringanan sanksi kepada Iran dalam keputusannya untuk mempertahankan kesepakatan nuklir Iran 2015. Pada Jumat (12/1), Gedung Putih mengatakan, Trump akan mempertahankan kesepakatan ini untuk terakhir kalinya.
Hal tersebut akan berlanjut jika kesepakatan dapat dicapai antara AS dan Eropa dalam 120 hari ke depan, yang akan memperkuat kesepakatan nuklir tersebut. "Meskipun saya memiliki kecenderungan kuat, saya belum menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran," kata Trump dalam sebuah pernyataan.
"Sebagai gantinya saya telah menawarkan dua kemungkinan, yaitu memperbaiki kekurangan dari kesepakatan itu atau AS akan menarik diri. Ini adalah kesempatan terakhir. Jika tidak ada kesepakatan semacam itu (antara AS dan Eropa) maka AS tidak akan lagi meringankan sanksi dan tidak lagi berada dalam kesepakatan nuklir Iran," kata dia menambahkan.
Pengumuman tersebut dirilis saat Departemen Keuangan AS menjatuhkan sanksi kepada 14 individu dan perusahaan Iran, termasuk kepala pengadilan Iran, atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Kepala Pengadilan Ayatollah Sadeq Amoli Larijani termasuk salah satu dari 14 individu dan entitas yang menjadi target dugaan pelanggaran HAM. Hal ini memicu kemarahan pihak Iran yang tak terima dengan langkah yang diambil Trump.
“Aksi permusuhan rezim Trump (terhadap Larijani) telah melintasi garis merah perilaku di masyarakat internasional dan merupakan pelanggaran hukum internasional. Hal ini pasti akan dijawab dengan reaksi serius oleh Republik Islam,” kata Kementerian Luar Negeri dalam sebuah pernyataan, dikutip BBC, Sabtu (13/1).
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menyebut keputusan Trump sebagai upaya untuk merusak kesepakatan nuklir itu. "Kebijakan Trump dan pengumuman hari ini menunjukkan upaya AS untuk merongrong kesepakatan multilateral yang solid itu," kata Zarif, Jumat (12/1).
"Perjanjian nuklir tidak dapat dinegosiasikan kembali. Daripada mengulangi retorika yang melelahkan, AS seharusnya patuh, sama seperti Iran," kata dia menambahkan.
Kesepakatan nuklir Iran 2015 disepakati oleh AS, di bawah pemerintahan mantan presiden Barack Obama, Iran, dan lima negara lainnya. Kesepakatan ini dibuat untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir dengan menawarkan keringanan sanksi yang mengizinkan Iran berpartisipasi dalam perdagangan dan perbankan internasional.
Berdasarkan undang-undang AS, presiden diharuskan memperbarui pengabaian sanksi setiap 120 hari. Terakhir kali Trump mengeluarkan surat pengabaian pada September 2017.
Pada Oktober tahun lalu, Trump menolak untuk menegaskan bahwa Iran telah mematuhi kesepakatan tersebut. Ia mengatakan, ini adalah salah satu transaksi terburuk dan paling sepihak yang pernah dilakukan AS.
Direktur Iran Observed Project, Ahmad Majidyar, mengatakan, dia tidak terkejut dengan keputusan Trump. "Tidak, saya tidak terkejut karena ini adalah sikap yang sama dengan yang Presiden Trump lakukan tiga bulan lalu saat dia mengumumkan kesepakatan nuklir Iran," kata Majidyar kepada Aljazirah.
Pada Jumat (12/1), Trump mengeluarkan empat komponen penting yang harus disertakan dalam undang-undang AS mengenai Iran. "Pertama, AS harus menuntut agar Iran mengizinkan adanya pemeriksaan di semua bidang yang diminta oleh inspektur internasional," kata Trump dalam sebuah pernyataan.
Dia juga mengatakan, undang-undang harus memastikan Iran tidak pernah membuat senjata nuklir. Tidak seperti kesepakatan nuklir, ketentuan ini tidak bisa kedaluwarsa. Salah satu alasan Trump mengkritik kesepakatan nuklir karena beberapa aspek dari perjanjian tersebut akan berakhir setelah 10 atau 15 tahun.
Akhirnya, Trump mengatakan, undang-undang harus secara eksplisit menyatakan program rudal jarak jauh dan program senjata nuklir tidak dapat dipisahkan. Selain itu, pengembangan dan pengujian rudal Iran harus dikenai sanksi berat.
Belum ada reaksi langsung dari Eropa. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Jerman mengatakan, Berlin telah mencatat dan akan mendiskusikan tindakan terbaik dengan sekutu Eropa-nya.
Federica Mogherini, kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, mengatakan, kesepakatan tersebut berjalan baik. Tujuan utamanya menjaga agar program nuklir Iran diawasi dengan ketat.
(Pengolah: setyanavidita livikacansera).