REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Otoritas Cina menutup laman resmi Marriott International selama sepekan setelah jaringan hotel internasional tersebut memasukkan Taiwan dan Tibet dalam daftar negara tersendiri dalam sebuah jajak pendapat kepada konsumen. Marriott telah meminta maaf atas kejadian tersebut dan mengakui tak ada niat mendukung gerakan separatis apa pun.
Dalam survei yang digelar Marriott, nama Taiwan, Tibet, Hong Kong, dan Makau masuk dalam kategori negara. Beijing menilai keempat daerah tersebut sebagai bagian wilayah yang masih terintergrasi dalam wilayah Cina, demikian dilansir BBC, Jumat (12/1).
Marriott juga harus menerima dilakukannya investigasi setelah sebuah akun media sosial perusahaan tersebut kedapatan memberi like pada sebuah unggahan yang dibuat gerakan separatis Tibet. Kabarnya, beberapa calon tamu Marriott membatalkan reservasi mereka karena persoalan ini.
Cina merespons cepat segala aksi atau pernyataan yang bernada mendukung gerakan separatis, terutama Taiwan dan Tibet. Badan Siber Shanghai meminta Marriott menghentikan laman berbahasa Mandarin untuk sementara.
Otoritas juga menghentikan aplikasi ponsel Marriott sebagai bagian sanksi atas survei berbahasa Mandarin yang Marriott lakukan. Beruntung, penghentian itu hanya sebentar dan konsumen sudah bisa mengakses aplikasi tersebut kembali.
Pada Kamis (11/1) lalu, CEO Marriott International Arne Sorenson menyampaikan permohonan maaf secara resmi. Ia menyatakan Marriott menghormati dan mendukung pemerintahan dan wilayah Cina secara integral.
''Kami tidak mendukung gerakan subversif yang menentang pemerintah dan wilayah Cina. Sayangnya, pekan ini terdapat dua insiden yang tidak kita inginkan,'' ungkap manajemen Marriott.
Dalam pernyataan itu, Marriott juga menjanjikan tindakan tegas bila ada staf mereka yang kedapatan melakukan aksi indisipliner. Sorenson menyadari, Cina merupakan salah satu pasar besar bagi Marriott. Tak heran, Marriott mengoperasikan lebih dari 100 hotel di bawah grup mereka di Cina.