Senin 15 Jan 2018 03:44 WIB

Pendukung Brexit Khawatirkan Pembalikan Arah

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Yudha Manggala P Putra
Nigel Farage (depan), pemimpin United Kingdom Independence Party (UKIP) merayakan kemenangan setelah hasil sementara referendum menunjukkan warga Inggris memilih keluar dari Uni Eropa, Jumat (24/6).
Foto: Toby Melville/Reuters
Nigel Farage (depan), pemimpin United Kingdom Independence Party (UKIP) merayakan kemenangan setelah hasil sementara referendum menunjukkan warga Inggris memilih keluar dari Uni Eropa, Jumat (24/6).

REPUBLIKA.CO.ID,  LONDON  -- Pendukung Brexit, Nigel Farage, mengkhawatirkan adanya pembalikan arah Brexit. Kekhawatiran itu didasari indikasi langkah kelompok berkuasa untuk membungkam kelompok pendukung Brexit.

Dalam sebuah wawancara yang dikutip Reuters pada Ahad (14/1), Farage menyatakan sebuah kelompok yang terorganisasi dan cukup biaya tengah mendorong isu agar Inggris tak berpisah dari Uni Eropa dan menenggelamkan suara pendukung memorandum keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).

''Mereka menjalankan semua ini. Mereka mayoritas di Parlemen. Kalau para pendukung Brexit tidak bersatu, kita bisa kehilangan momen bersejarah ini,'' kata Farage.

Pekan lalu, Farage menyatakan ia mendapati menguatnya wacana jajak pendapat ke dua soal keanggotaan Inggris di Uni Eropa. Ide ini ia nilai dapat melemahkan keputusan memorandum sebelumnya yang menginginkan Inggris keluar dari Uni Eropa.

Pada 2016, dengan porsi 52-48 persen, warga Inggris memilih mengakhiri keanggotaan dari Uni Eropa. Perdana Menteri Inggris Therasa May kemudian mengabaikan usulan referendum ke dua dengan alasan pemerintahannya tengah mencari cara terbaik untuk berpisah dari Uni Eropa untuk mengamankan ekonomi Inggris.

Namun, beberapa pendukung Brexit mengkhawatirkan pendekatan yang May lakukan justru berdampak sebaliknya. Termasuk soal kemampuan mengurangi imigrasi dan meraih kekuasaan pemerintah secara utuh dengan meninggalkan yurisdiksi Uni Eropa.

Beberapa pendukung integrasi Uni Eropa menyatakan referendum ke dua dibutuhkan karena publik saat ini menunjukkan sikap tak setuju dengan keputusan Brexit. Selain juga karena negosiasi yang alot antara Inggris dengan Uni Eropa tak kunjung ada kejelasan.

Kamis (11/1) lalu, dari jajak pendapat yang dilakukan ComRes menyatakan, dari 1.049 responden, 51 persen berpikir tak perlu ada referendum ke dua. Namun, bila ada kesempatan, 55 persen responen memilih Inggris tetap bersamama Uni Eropa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement