Sabtu 20 Jan 2018 08:50 WIB

Penyebab Kematian 200 Ribu Antelop di Kazakhstan Terungkap

Ratusan hewan tersebut terserang penyakit yang diakibatkan bakteri.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Yudha Manggala P Putra
Binatang Antelop.
Foto: Gizmodo
Binatang Antelop.

REPUBLIKA.CO.ID,  ASTANA -- Para peneliti mengungkap penyebab kematian misterius 200 ribu antelop saiga di Kazakhstan pada 2015. Menurut tim periset, kawanan fauna tersebut mati karena infeksi yang terimbas perubahan iklim.

Diagnosis para peneliti, para antelop terserang penyakit septikemia hemoragik akibat mengganasnya bakteri Pasteurella multocida. Gejala simultan pada seluruh kawanan menyiratkan bahwa perubahan lingkungan memicu berkembangnya bakteri.

Padahal, dalam kondisi normal, bakteri tersebut sebenarnya jinak dan tidak berbahaya. Analisis yang lebih dalam menguak bahwa ada faktor terkait yang berhubungan dengan menghangatnya cuaca dan peningkatan kelembapan.

Akan tetapi, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Misalnya, para periset belum mengetahui secara pasti bagaimana persisnya perubahan iklim dan lingkungan dapat menyebabkan bakteri menjadi lebih mematikan.

"Temuan ini harus menjadi perhatian ke depan, mengingat kenaikan suhu akibat perubahan iklim diprediksi akan terus berlangsung di wilayah sama dalam jangka pendek dan menengah," ungkap peneliti dalam studi yang telah diterbitkan di Science Advances.

Kematian massal spesies berstatus konservasi kritis itu sempat heboh di internet dua tahun silam setelah beredarnya foto yang menunjukkan para antelop mati bergelimpangan. Kasus tersebut juga mengurangi hampir dua pertiga populasi global antelop saiga.

Menurut tim peneliti, antelop saiga sangat rentan terhadap serangan jenis penyakit baru serta stres yang dapat memicunya. Meski dapat kembali berkembang biak setelah kematian massal, jumlahnya terus berkurang akibat perburuan yang tinggi.

"Skala besar peristiwa ini menunjukkan perlunya pemantauan populasi satwa liar dan riset ilmiah untuk mempersiapkan aksi cepat tanggap jika diketahui terjadi wabah penyakit," tulis tim peneliti, dikutip dari laman Gizmodo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement