REPUBLIKA.CO.ID, KARAKAS -- Pihak berwenang Venezuela mengatakan, Kamis, mereka sedang berupaya meminta Interpol mengeluarkan perintah penahanan terhadap bekas raja minyak Venezuela, Rafael Ramirez, atas tuduhan korupsi.
Pernyataan itu meningkatkan ketegangan antara sang bekas politisi berpengaruh itu dengan pemerintahan sosialis Venezuela.
Ramirez, yang mengepalai kementerian perminyakan dan perusahaan energi negara PDVSA selama satu dekade, merupakan saingan lama Presiden Nicolas Maduro.
Jaksa negara Tarek Saab mengatakan dalam acara jumpa pers bahwa Venezuela sedang berupaya menangkap Ramirez atas tuduhan melakukan korupsi saat periode ia mengomandoi cadangan minyak mentah Venezuela, yang merupakan terbesar di dunia.
Ramirez tidak diketahui keberadaannya sejak ia kabur ke Amerika Serikat pada Desember tahun lalu, yaitu satu tahun setelah ia diperintahkan mengundurkan diri sebagai duta besar Venezuela untuk Perserikatan Bangsa-bangsa.
Perintah agar Ramirez mundur dikeluarkan setelah ia menulis artikel, yang dianggap kalangan tertentu sebagai serangan terhadap pemerintahan Maduro. Ramirez membantah tuduhan bahwa ia melakukan korupsi.
"Saya akan terus mengatakan apa yang saya pikirkan. Mereka akan membakar saya seperti di Inquisition. Tapi akan saya lanjutkan," kata Ramirez kepada Reuters melalui layanan pesan singkat.
Di Twitter, Ramirez mengatakan ia sedang disingkirkan karena mengajukan diri untuk mengikuti pemilihan awal Partai Sosialis menjelang pemilihan presiden. Pemilihan dijadwalkan berlangsung pada April 2018.
Maduro saat ini merupakan kandidat kuat untuk pemilihan. "Mereka ingin memperketat kandidat melalui ketakutan dan paksaan, membungkam dan menjadikan kritik sebagai kejahatan.
Interpol belum menanggapi permintaan untuk berkomentar soal apakah pihaknya telah menerima permintaan untuk menangkap Ramirez dan apakah permintaan itu akan dipenuhi.
Baca juga, Maduro Tuding AS Terlibat dalam Pemberontakan Venezuela.
Kalangan oposisi politik mengatakan Ramirez adalah sosok munafik yang juga bertanggung jawab atas krisis ekonomi, keterbatasan pangan dan obat-obatan, tingkat inflasi tertinggi di dunia serta gelombang perpindahan penduduk ke luar negeri.