REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Afghanistan terguncang setelah sebuah serangan bom bunuh diri mematikan terjadi di pusat ibu kota Kabul, pada Sabtu (27/1). Serangan terburuk selama beberapa bulan terakhir di Afghanistan ini menewaskan 95 orang dan melukai lebih dari 250 orang.
Ledakan diketahui berasal dari sebuah ambulans yang dipenuhi dengan bahan peledak. Petugas keamanan memperingatkan kemungkinan akan ada lebih banyak serangan lagi setelah ini.
"Bagaimana kami akan hidup? Kemana kami harus pergi? Kami tidak memiliki sistem keamanan, kami tidak memiliki pemerintahan yang layak, apa yang harus kami lakukan?" ujar Mohammad Hanif, yang tokonya berada di dekat lokasi ledakan.
Taliban telah mengklaim bertanggung jawab atas serangan mematikan itu, yang terjadi sepekan setelah mereka menyerang Intercontinental Hotel di Kabul. Serangan ini menjadi serangan terparah kedua di Kabul setelah bom truk meledak di dekat Kedutaan Besar Jerman dan membunuh 150 orang pada Mei lalu.
"Orang-orang berlari ke segala arah untuk melarikan diri, orang-orang yang terluka terbaring di tanah, ada orang-orang dengan luka di lengan, kaki, kepala mereka," jelas Hanif.
Pemerintahan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani menghadapi tekanan untuk memperbaiki keamanan negara. Terlebih serangan ini terjadi sepekan setelah kantor lembaga amal Save the Children juga dibom di Kota Jalalabad.
Presiden AS Donald Trump tahun lalu telah mengirim lebih banyak tentara Amerika ke Afghanistan dan memerintahkan peningkatan serangan udara serta bantuan lainnya kepada pasukan Afghanistan. Ia mengatakan strategi ini untuk memperbaharui tekad AS dan Afghanistan untuk melawan teroris.
Setelah mengunjungi Kabul baru-baru ini, Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, mengatakan strategi tersebut telah berhasil mendorong militan untuk lebih dekat ke perundingan damai. Namun, Taliban menolak anggapan bahwa mereka telah dilemahkan oleh pendekatan AS dan mengatakan mereka hanya akan menyetujui perundingan ketika pasukan internasional meninggalkan Afghanistan.