Rabu 31 Jan 2018 16:01 WIB

Israel Beri Migran Afrika Waktu Tiga Bulan

Sebanyak 55 ribu migran dan pencari suaka Afrika tinggal di Israel.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
demonstrasi imigran afrika di Israel
Foto: reuters.com
demonstrasi imigran afrika di Israel

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Pihak berwenang Israel memberi waktu tiga bulan bagi para migran dan pencari suaka Afrika, terutama yang berasal dari Sudan dan Eritrea, untuk meninggalkan negara tersebut. Jika mereka bersikeras untuk tetap tinggal akan menghadapi hukuman penjara.

Pada Agustus lalu, Mahkamah Agung Israel memutuskan, migran dari Eritrea dan Sudan yang tidak mencari suaka secara legal di Israel, dapat dideportasi ke negara asal atau ke negara ketiga.

 

Menurut data Otoritas Imigrasi dan Penyerapan Israel, sebanyak 55 ribu migran dan pencari suaka Afrika saat ini tinggal di negara tersebut, sekitar 90 persen di antaranya berasal dari Sudan dan Eritrea.

Sebagian besar dari mereka tiba di Israel melalui Mesir selama periode 2006 sampai 2013. Saat itu pagar keamanan belum didirikan di sepanjang perbatasan antara Israel dan Semenanjung Sinai di Mesir.

Menurut Hotline for Refugees and Migrants (HRM), sebuah LSM Israel yang berbasis di Tel Aviv, sebagian besar migran dan pencari suaka ini terkonsentrasi di selatan Tel Aviv dan di kota-kota lain. "Ketika mereka datang ke sini, pemerintah memberi mereka tiket sekali jalan ke terminal bus utama Tel Aviv," ujar juru bicara HRM Dror Sadot, kepada Anadolu.

Kebanyakan dari mereka tinggal di negara ini dengan visa bersyarat, yang harus diperbaharui setiap bulan atau setiap dua bulan. "Visa ini menjamin mereka tidak akan dideportasi kembali ke negara asal mereka. Namun, mereka tidak berhak atas apapun, termasuk perawatan kesehatan," kata Sadot.

Sekitar 1.200 pencari suaka Afrika saat ini ditahan di fasilitas penahanan Holot di Israel selatan. Fasilitas penahanan yang dibangun dengan biaya lebih 147 juta dolar AS itu didirikan untuk memaksa para pencari suaka meninggalkan negara tersebut.

Sejak 2012, Israel telah mendeportasi sekitar 20 ribu dari sekitar 60 ribu migran Afrika yang memasuki negara tersebut sebelum pagar perbatasan didirikan. "Jika kami diberi pilihan antara ditahan atau menjadi pengungsi tunawisma selama sisa hidup kami, kami lebih memilih ditahan," ujar Salim Kebal (30 tahun), imigran asal Sudan.

Ia mengaku datang ke Israel pada 2010, melalui Mesir, setelah melarikan diri dari konflik, penganiayaan, dan depresi ekonomi di negaranya. Kebal dan keluarganya telah menghabiskan waktu dua bulan di padang pasir, merasakan kekurangan air, makanan, dan keamanan.

"Saya tidak punya pilihan. Kami tinggal di Sudan dan terbunuh atau pergi dan bertahan. Sekarang saya di Israel mencari status pengungsi karena saya bosan hidup dalam ketakutan. Saya ingin keluarga saya hidup tanpa rasa takut akan kematian atau penganiayaan," ungkapnya.

Ia ingin mendapatkan status pengungsi di Israel sehingga bisa memulai kehidupan baru bersama keluarganya. Namun hal itu hampir tidak mungkin terjadi karena pihak berwenang Israel ingin mengusirnya ke negara ketiga.

Menurut data Israel, dari 13.764 permohonan suaka yang diajukan pada Juli tahun lalu, hanya 10 warga Eritrea dan satu warga Sudan diberi status pengungsi resmi.

Pekan lalu, situs Otoritas Penduduk dan Imigrasi Israel memasang sebuah iklan untuk mencari inspektur yang akan bekerja di departemen permintaan suaka. Menurut iklan tersebut, pihak berwenang Israel berharap dapat mempekerjakan 100 inspektur pada Maret mendatang, yang akan ditugaskan untuk menemukan, memantau, dan menahan imigran yang tidak berdokumen.

Dari 100 inspektur ini, kira-kira 24 di antaranya akan bekerja untuk program pemulangan sukarela. Para pengungsi akan ditawarkan pembayaran tunai sebesar 3.500 dolar AS untuk meninggalkan negara tersebut secara sukarela.

"Sekarang saya khawatir suatu hari polisi, atau mereka yang dipanggil 'inspektur', akan memaksa saya dan keluarga saya untuk pergi. Saya telah diberitahu oleh beberapa orang yang secara sukarela kembali ke negara asal mereka, atau ke negara ketiga, bahwa mereka kembali mengalami penganiayaan dan kemiskinan," kata Kebal.

Menurut laporan media setempat, Israel dan Rwanda baru-baru ini telah menandatangani sebuah kesepakatan penerimaan 10 ribu pengungsi dari Israel. Imbalannya, pemerintah Rwanda akan menerima 5.000 dolar AS untuk setiap pengungsi yang diterimanya.

Namun Menteri Luar Negeri Rwanda, Olivier Nduhungirehe, membantah laporan tersebut. Ia mengatakan negaranya tidak memiliki kesepakatan apapun untuk menerima pengungsi Afrika dari Israel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement