REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM -- The Arakan Rohingya Union (ARU) dan European Rohingya Council (ERC) pada Rabu (31/1), meminta Myanmar menegosiasikan ulang kesepakatan repatriasi pengungsi Rohingya dengan Bangladesh. ARU dan ERC meminta badan pengungsi PBB UNHCR dan perwakilan pengungsi yang tinggal dikamp-kamp dilibatkan dalam kesepakatan tersebut.
Dalam sebuah pernyataan bersama, ARU dan ERC mengatakan, Pemerintah Myanmar harus menangani masalah keamanan, hak asasi manusia (HAM) dan status kewarganegaraan yang dihadapi oleh etnis Rohingya. Hal-hal tersebut harus terjamin dan dipastikan sebelum proses repatriasi dilakukan secara gradual.
Menurut kedua organisasi tersebut, saat ini situasi keamanan di Rakhine belum sepenuhnya kondusif. Masih ada serangan dan penjarahan yang dilakukan angkatan bersenjata Myanmar dan milisi Rakhine Buddhis.
Baca juga, Militer Myanmar Sebut tak Ada Rohingya yang Terbunuh.
Menurut ARUdan ERC, hal ini menunjukkan Pemerintah Myanmar belum menampakkan komitmen dan kesungguhannya untuk menjamin keamanan dan keselamatan etnis Rohingya di Rakhine.
"Kami mendesak Myanmar bekerja sama dengan Komisi Rakhinedengan transparansi penuh dan menghormati pandangan anggota Komisi, serta sepenuhnya menerapkan rekomendasi dari Komisi Kofi Annan dengan tolok ukur," kata ARU dan ERC dalam pernyataan bersamanya, dikutip laman Anadolu Agency.
ARU dan ERC juga meminta Pemerintah Myanmar menegosiasikan ulang kesepakatan repatriasi, yakni dengan melibatkan UNHCR serta perwakilan pengungsi yang kehilangan tempat tinggal di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh. Selain itu, ARU dan ERC meminta pemerintah Myanmar mengizinkan kelompok bantuan dan pembangunan internasional untuk membantu proses rekonstruksi desa-desa Rohingya yang telah porak poranda.
"Kami meminta pemerintah memulai rencana rekonstruksi danrehabilitasi yang ketat bagi para pengungsi yang kembali dengan berkoordinasi dengan UNHCR, kelompok bantuan internasional, dan perwakilan Rohingya yang kehilangan tempat tinggal agar dapat kembali ke rumah aslinya tanpa kamptransit, baik kamp semi permanen maupun permanen," kata ARU dan ERC.
Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi. Walaupun hal ini dianggap sebagai sebuah kemajuan, namun tak sedikit pula yang mencemaskannya, termasuk lembaga hak asasi manusia internasional.
Hal ini karena dalam kesepakatan tersebut tidak disinggung secara eksplisit tentang jaminan keamanan, keselamatan, dan status kewarganegaraan untuk para pengungsi Rohingya yang kembali ke Myanmar. Oleh sebab itu, organisasi atau lembaga hak asasi manusia menyerukan agar proses ini dapat dipantau bersama, termasuk oleh UNHCR.