REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Insinyur yang menyelidiki runtuhnya lantai mezzanine di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) yang melukai 72 mahasiswa mengatakan ia telah dihalang-halangi memeriksa bagian-bagian penting struktur gedung tersebut.
Poin utama
"Saya tidak memiliki akses untuk masuk. Kerja samanya tidak begitu mulus," kata Steffie Tumilar.
Steffie Tumilar adalah seorang insinyur konstruksi veteran yang ditunjuk oleh pemerintah kota untuk mengetahui mengapa lantai mezzanine di gedung BEI ambrol. Ia tak bisa melakukan pekerjaannya.
Ia menyiapkan laporan terbatas berdasarkan rekaman CCTV mengenai ambruknya lantai itu dan pemeriksaan singkat di lokasi. Ia belum bisa melihat komponen krusial yang gagal: baut, balok dan klem yang menahan lantai mezzanine yang terletak tiga meter di atas lantai dasar bangunan.
Gedung BEI ini berusia 20 tahun dan kemungkinan ambruknya lantai mezzanine itu disebabkan oleh klem atau fixture (alat pengendali) yang usang atau kelebihan muatan. Tapi penyidik tak bisa memastikan karena mereka belum melihat bagian-bagian itu.
Steffie mengatakan polisi memblokirnya untuk masuk ke lokasi. Polisi mengatakan, aksesnya sekarang berada di luar tanggung jawab mereka karena mereka menyerahkan lokasi tersebut kembali ke manajemen gedung.
Ini adalah penyelidikan penting. Ambrolnya lantai mezzanine itu menunjukkan masalah serius tak hanya dengan desainnya -yang seharusnya cukup kuat untuk menahan kegagalan satu koneksi - namun juga menunjukkan masalah yang lebih luas pada perawatan dan inspeksi bangunan di Jakarta.
Dan jika hal itu bisa terjadi di gedung papan atas yang menampung perusahaan seperti Bank Dunia dan Bursa Efek, itu juga bisa terjadi di mana saja.
Korban luka parah masih di rawat di rumah sakit
Sebanyak 72 orang dirawat di rumah sakit setelah insiden itu. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa akuntansi dari sebuah universitas di Sumatera. Korban yang mengalami luka paling parah masih dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Rumah sakit tersebut memberikan izin kepada ABC untuk berbicara dengan Desva Hara yang berusia 21 tahun, yang mengalami patah tulang.
Seorang mahasiswa berusia 21 tahun lainnya dari Universitas Bina Darma, Deka, tengah memulihkan diri setelah tulang panggulnya terpisah akibat dahsyatnya insiden itu. Ia dipasangi pen panjang yang dibor ke tulang kakinya untuk menahan mereka.
"Kaki saya masih dirawat, dokter menyuruh saya tinggal selama dua minggu lagi, jadi tulangnya bisa kembali normal, maka saya harus belajar jalan kaki, baru saya bisa pulang," ujarnya.
Diminta tinggalkan rumah sakit
Saat ABC mewawancarai ahli bedah yang mengoperasi Deka, seorang pria dengan pakaian sipil masuk ke bangsal dan menuntut untuk melihat identitas kami. Kami menyerahkan kartu identitas, dan ia meminta kami untuk pergi.
Baru saat itulah kami memintanya untuk mengidentifikasi dirinya sendiri ... dan menjadi jelas bahwa ia tak bekerja di rumah sakit itu. "Anda harus berhenti," katanya kepada kami.
Kami menanyakan namanya dan ia menjawab, "Agus Pratikno". Ia mengatakan dirinya berasal dari manajemen gedung.
Ternyata, Agus bekerja untuk perusahaan yang memiliki gedung BEI -salah satu perusahaan yang tengah diselidiki akibat insiden tersebut. Tapi tampaknya ia punya kuasa di rumah sakit - dan kami dikawal keluar dari gedung. Bernasib sama seperti insinyur konstruksi, Steffie Tumilar, akses kami juga dihentikan.
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.