Jumat 09 Feb 2018 11:19 WIB

Perundingan Perselisihan Air Sungai Nil Mandeg

Sudan, Mesir dan Ethopia Berebut Aliran Sungai Nil

sungai Nil.
Foto: saudigazette.com
sungai Nil.

REPUBLIKA.CO.ID, Ketika kembali dari Kairo pada 19 Januari lalu, Perdana Menteri Ethiopia Hailemariam Desalegn mengumumkan bahwa dia telah mengembalikan proposal Mesir untuk mengupayakan mediasi Bank Dunia dalam perselisihan mengenai Bendungan Renaissance yang diharapkan dapat mempengaruhi bagian Mesir dari Air Sungai Nil.

Dia katakan hal itu setelah menyelesaikan sebuah pertemuan di Addis Ababa dengan delegasi Presiden  Sudan, Omar Al-Bashir pada 29 Januari yang lalu. Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi mengatakan kepada wartawan yang menanyakan apakah krisis tersebut dapat dipecahkan dan tidak ada satu pun negara yang terlibat akan dirugikan.

Pada hari yang sama, Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukri mengatakan bahwa semua masalah teknis yang tertunda akan selesai dalam waktu satu bulan. Namun begitu kapan pastinya dia tetap tidak memberikan rincian. Berbeda dengan pernyataan pertama, yang memberi kesan bahwa kebuntuan dan negosiasi masih gagal, yang kedua memerlukan terobosan.

Namun, tanpa perubahan yang jelas dalam beberapa hari  dan tidak ada pengumuman resmi mengenai sebuah resolusi, maka situasinya tetap kabur. Apalagi air sungai Nil merupakan suratan nasib atau  garis hidup satu satu-satunya bagi warga Mesir.

Duta Besar dan mantan wakil menteri luar negeri Ahmed Abul Kheir mengatakan, meski  betapa meyakinkannya pernyataan presiden tersebut, tetap saja tidak berarti bahwa krisis tersebut telah teratasi.

"Saya tidak mempercayai Ethiopia terutama setelah penolakan mediasi Bank Dunia," katanya. "Bank Dunia akan sangat membantu dalam masalah teknis yang dipersengketakan dan kami khawatir entitas lain mungkin terpengaruh oleh Ethiopia."

Abul Kheir menambahkan bahwa Mesir seharusnya keluar dari pertemuan tersebut dengan hasil yang lebih nyata. "Jelas, Mesir harus melakukan dengan isyarat dan janji yang bagus daripada kesepakatan konkret. Sayangnya Ethiopia berada dalam posisi yang lebih kuat dan kita perlu menjadi pasien,” ujarnya seraya mengatakan sejak kedua negara telah bernegosiasi selama tiga tahun terakhir namun hingga kini  masih belum bisa mencapai titik tengah.

“Ini bisa bisa disepakati, tentu saja bila  tanpa Ethiopia menawarkan konsesi besar dan sangat sepihak,” kata Abdul Kheir.

Pengamat persoalan Afrika, Amani Al-Tawil, berpendapat bahwa hasil perundingan di Kairo dan Addis Ababa hendaknya tidak diumumkan. Ini karena kedua belah pihak diikutsertakan dalam diskresi sehingga agar hal-hal tersebut tidak terbuang dari proporsional oleh media,  terutama terjadi di Mesir. Di sana memang tempat sebagaian besar media yang anti-Ethiopia.

"Kami juga perlu mempertimbangkan bahwa periode Mesir berhati-hati untuk tidak mengadopsi situasi konfrontatif dan menyelesaikan masalah ini melalui diplomasi dan niat baik,” kata Tawil dengan menolak klaim bahwa ambiguitas situasi tersebut disebabkan ketidakmampuan rezim tersebut untuk mengelola negosiasi.

"Klaim semacam itu mengabaikan kenyataan bahwa rezim saat ini mewarisi masalah. Ini adalah hasil dari tahun-tahun kelalaian urusan Afrika di bawah Mubarak dan juga ketegangan hubungan dengan negara-negara Afrika ketika Ikhwanul Muslimin berkuasa, " jelasnya.

Tawil mengakui bahwa kedua belah pihak belum mencapai kesepakatan mengenai masalah utama yang tertunda. "Misalnya, jelas tidak ada kemajuan dalam masalah pengisian waduk bendungan," katanya, mengacu pada waktu dan kecepatan pengisian yang menjadi biang pertengkaran utama antara kedua negara.

sumber : saudigazette.com
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement