REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mempertimbangkan untuk meminta gencatan senjata 30 hari di Suriah. Gencatan senjata ini dinilai perlu dilakukan guna memungkinkan pengiriman bantuan dan evakuasi warga yang sakit dan terluka.
Sebuah resolusi, yang disusun oleh Swedia dan Kuwait, diedarkan kepada 15 anggota dewan pada Jumat. Diperlukan sembilan suara yang mendukung dan tidak ada veto dari Rusia, Cina, Amerika Serikat, Inggris atau Prancis agar resolusi tersebut dapat dijalankan.
PBB pada Selasa untuk melakukan gencatan senjata kemanusiaan segera di Suriah setidaknya selama sebulan. Seruan ini didukung oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada Kamis
Bentrok dengan Pasukan Suriah, 30 Militan ISIS Terbunuh
Namun, Duta Besar Rusia untuk Perserikatan Bangsa Bangsa Vassily Nebenzia mengatakan bahwa rencana itu tidak realistis. "Itu tidak realistis. Kami ingin melihat gencatan senjata, akhir perang di Suriah, tapi para teroris, saya tidak yakin mereka sepakat," ujar dia.
Sekutu Suriah, Rusia, telah memberikan 11 veto tentang kemungkinan tindakan Dewan Keamanan di Suriah sejak perang sipil dimulai pada tahun 2011, yang melindungi pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Para diplomat di dewan diharapkan untuk membahas teks tersebut pada Senin (12/2). Tidak segera jelas kapan atau apakah Swedia dan Kuwait akan mengajukan rancangan resolusi tersebut untuk diputuskan.
Diplomasi tidak membuat kemajuan dalam mengakhiri perang, yang sekarang mendekati tahun kedelapan. Konflik telah menewaskan ratusan ribu orang dan memaksa setengah dari 23 juta populasi Suriah mengungsi dari rumah mereka. Jutaan orang dipaksa pergi sebagai pengungsi.
Sebelumnya, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan mitranya Presiden Rusia Vladimir Putin pada Kamis dini hari (8/2), melalui telepon, sepakat untuk menyelenggarakan pertemuan puncak berikutnya antara Turki, Rusia dan Iran soal Suriah di Istanbul.
Dalam pembicaraan telepon itu, kedua pemimpin membahas krisis Suriah, termasuk perkembangan terbaru di wilayah Idlib dan Afrin. Presiden Rusia dan Presiden Turki juga bertukar pandangan soal proses Astana, kata sumber-sumber di kantor kepresidenan seperti dikutip kantor berita negara Turki, Anadolu.