REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Kementerian Pertahanan Tunisia menolak sebuah proposal dari NATO yang akan memberikan hibah sebesar tiga juta euro atau setara Rp 50 triliun. Hibah itu dimaksudkan untuk membuat organisasi tersebut terlibat secara permanen di pusat operasi antiteror di negara tersebut.
"Kami menolak sebuah proposal dari NATO untuk memberi negara dana hibah sebesar tiga juta euro untuk secara permanen menerima ahli yang akan memberikan saran teknis kepada militer Tunisia di pusat operasi di mana tentara tersebut bekerja untuk mengamankan perbatasan dan memerangi terorisme yang direncanakan dikembangkan oleh pemerintah Tunisia," kata Menteri Pertahanan Abdelkarim Zbidi, dikutip Middle East Monitor, Selasa (13/2).
Dalam persidangan di komite keamanan dan pertahanan parlemen Tunisia Zbidi mengatakan bahwa kementerian tersebut sedang mengerjakan proyek untuk menyelesaikan pusat bersama untuk merencanakan, memimpin operasi, analisis informasi dan untuk memimpin operasi gabungan antara kekuatan militer.
"Kementerian memang meminta hibah, asalkan tidak ada pihak luar militer Tunisia yang akan melakukan intervensi di pusat ini, dan lokasi di mana pusat tersebut akan didirikan berada di dalam wilayah Tunisia dan dipilih oleh Kementerian Pertahanan," ujarnya menambahkan.
Zbidi mengakui bahwa ancaman teroris di negaranya masih ada, terutama di perbatasan sebelah barat dengan Aljazair dan sebelah timur dengan Libya. "Beberapa gerilyawan masih aktif di dataran tinggi barat di Kegubernuran Kassei, El Kef dan Jendouban."
Menurut dia unit militer Tunisia sudah melakukan sekitar seribu operasi militer di daerah yang mencurigakan di kegubernuran tersebut. Operasi tersebut menewaskan lima pejuang teroris, mengungkap 28 tempat persembunyian, penghancuran dan netralisasi lebih dari 100 tambang, perampasan peralatan dan berbagai barang, pembunuhan dua agen militer bersama 45 lainnya terluka dengan tingkat yang berbeda.