Rabu 14 Feb 2018 06:51 WIB

54 Warga Palestina Meninggal Setelah Israel Tolak Izin Medis

Israel menolak ratusan izin medis penduduk Gaza yang mencari perawatan.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Gita Amanda
Anak Gaza berusia sembilan tahun, Hanen Al Bakri, menerima perawatan di Rumah Sakit Al Shifa, Gaza, Palestina.
Foto: EPA/Mohammed Saber
Anak Gaza berusia sembilan tahun, Hanen Al Bakri, menerima perawatan di Rumah Sakit Al Shifa, Gaza, Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Israel dinyatakan bertanggung jawab atas kematian 54 warga Palestina tahun lalu. Hal tersebut disebabkan karena pihak berwenang Israel telah menolak ratusan pengajuan izin medis dari penduduk Gaza yang mencari perawatan di luar jalur yang terkepung.

Dalam sebuah pernyataan bersama, pada Selasa (13/2), Pusat Hak Asasi Manusia Al Mezan yang berbasis di Gaza, Amnesty International, Human Rights Watch, Bantuan Medis untuk Orang Palestina (MAP), dan Dokter untuk Hak Asasi Manusia Israel (PHRI), mendesak Israel untuk mengakhiri pengepungannya selama satu dekade di Jalur Gaza.

Pada 2017, pihak berwenang Israel menyetujui kurang dari setengah permintaan izin medis yang diterimanya, terendah sejak 2008. Izin tersebut terkait dengan sesi perawatan di rumah sakit di wilayah pendudukan dan wilayah Israel.

Lebih dari 25 ribu permintaan izin diajukan ke pihak berwenang Israel di tahun itu. Dari jumlah tersebut, sebanyak 719 ditolak, seringkali dengan dalih keamanan. Sebanyak 11.281 pengajuan izin lainnya masih menunggu persetujuan, yang artinya ribuan orang masih berada dalam keadaan sulit.

Samir Zaqout, Direktur Al Mezan, mengatakan kepada Aljazirah, tidak ada alasan rasional mengapa pasien yang membutuhkan bantuan medis mendesak tidak mendapatkan akses ke rumah sakit. Padahal Israel berada di bawah kewajiban hukum untuk memfasilitasi kebebasan bergerak rakyat Palestina.

"Blokade tidak hanya menolak warga Gaza yang memiliki hak untuk melakukan gerakan bebas, tetapi juga membatasi mereka yang memiliki hak untuk mengakses layanan kesehatan," jelas Zaqout.

Selama bertahun-tahun, Israel telah memberikan hambatan bagi orang-orang yang mencari izin medis, yang membatasi pergerakan orang sakit. Misalnya, pasien anak harus memiliki wali yang berusia lebih dari 50 tahun untuk bisa mendapatkan izin.

"Anak-anak penderita kanker tanpa wali yang telah ditentukan, belum dapat mengakses rumah sakit," ungkap Zaqout.

Meskipun Israel telah menyetujui 10 hingga 15 persen permintaan izin, sebagian besar pengajuannya tetap dalam peninjauan selama berbulan-bulan. Hal ini memaksa banyak pasien untuk menjadwalkan ulang janji pertemuan dengan pihak medis selama beberapa kali.

Hanya pasien yang membutuhkan perawatan darurat yang memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan izin medis. Dengan demikian, lebih dari 25 ribu warga Gaza berada di antara hidup dan mati.

Hani, ayah dari pasien kanker bernama Ruba (7 tahun), mengatakan putrinya baru-baru ini mendapat penolakan izin medis untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun.

"Dia bukan satu-satunya. Saya memiliki seorang anak perempuan yang meninggal saat berusia tujuh bulan. Dia menderita kanker yang sama, dan kami kehilangan dia enam tahun yang lalu. Saya tidak ingin kehilangan anak perempuan lagi," kata Hani, kepada Aljazirah.

Ruba didiagnosis menderita kanker saat masih balita. Dia menjalani transplantasi sumsum tulang pada Januari tahun lalu dalam sebuah prosedur yang telah menghabiskan seluruh tabungan keluarganya.

Ruba menerima donor jaringan sumsum tulang dari kakaknya. Namun tanpa perawatan yang intensif, Hani sangat mengkhawatirkan kehidupan putrinya.

"Saya memastikan (pendonor) itu adalah anak saya yang paling sehat, saya ingin dia (Ruba) memiliki kesempatan terbaik untuk bertahan. Dia gadis yang baik, dia sangat cantik dan cerdas. Kami orang baik dan melakukan segalanya dengan benar. Kami tidak menghadapi masalah dengan pihak berwenang dan dokumen kami selalu lengkap," papar Hani.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement