Rabu 14 Feb 2018 10:52 WIB

AS Desak Pemerintah Myanmar Akui Pembantaian Rohingya

Penyangkalan Myanmar atas pembersihan etnis Rohingya dianggap tak masuk akal.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Anak-anak Rohingya di pengungsian.
Foto: ACT
Anak-anak Rohingya di pengungsian.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS), pada Selasa (13/2), mengatakan, penyangkalan Myanmar atas tindakan pembersihan etnis Rohingya di negara bagian Rakhine adalah sesuatu yang tak masuk akal. AS mendesak militer Myanmar dan Aung San Suu Kyi selaku pemimpin de facto negara tersebut untuk mengakui adanya pembantaian terhadap Rohingya.

Pasukan yang kuat di Myanmar telah menolak pembersihan etnis di negara bagian Rakhine. "Untuk memastikan tidak ada yang bertentangan dengan penolakan mereka yang tidak masuk akal, mereka mencegah akses ke Rakhine kepada siapapun dan organisasi manapun yang mungkin menjadi saksi atas kekejaman mereka, termasuk Dewan Keamanan PBB," kata Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley.

Haley pun menyerukan pemerintah Myanmar untuk segera membebaskan jurnalis Reuters yang ditangkap karena berupaya menggali informas iterkait pembantaian etnis Rohingya. "Kami sangat menyerukan pembebasan mereka segeradan tanpa syarat. Di atas semua itu mereka memiliki kekurangajaran untuk menyalahkan media," ucapnya.

Pekan lalu Reuters telah menerbitkan laporan khusus terkait operasi militer Myanmar di negara bagian Rakhine. Dalam laporan tersebut tersingkap bagaimana militer Myanmar melakukan pembunuhan terhadap 10 orang Rohingya di desa Inn Din. Mereka kemudian dikubur di kuburan massal setelah ditembak oleh para tentara.

Sementara itu, Duta Besar Myanmar untuk PBB Hau Do Suan tak menyangkal dan tak membenarkan perihal laporan yang telah dirilis Reuters. Ia hanya mengungkapkan, penyelidikan oleh militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw, telah menemukan 10 gerilyawan Tentara Pembebasan Rohingya Arakan di desa Inn Din. Mereka kemudian dieksekusi dan dikubur sehari kemudian.

Tindakan dilakukan terhadap 16 orang, termasuk tentara dan polisi serta beberapa penduduk desa yang telah bertindak melanggar standar operasi prosedur dan peraturan yang mengikat." Tindakan Tatmadaw ini merupakan langkah positif maju dalam mengambil tanggung jawab dan patut mendapat dorongan," kata Hau Do Suan.

Kemudian perihal jurnalis Reuters yang ditangkap saat berupaya mengungkap kejadian di Rakhine, Hau Do Suan mengatakan, negaranya mengakui kebebasan pers. Ia mengatakan, jurnalis Reuters ditangkap oleh otoritas Myanmar bukan karena melaporkan sebuah berita, namun dituding secara ilegal memiliki dokumen rahasia pemerintah.

"Setiap warga negara terikat oleh hukum yang ada. Adalah penting bahwa tindakan wartawan juga harus berada dalam batas-batas hukum," ujar Hau Do Suan.

Ia pun mengatakan bahwa saat ini beberapa diplomat telah dapat melakukan perjalanan ke negara bagian Rakhine. Namun ia menyarankan kepada Dewan Keamanan PBB untuk tidak melakukan kunjungan pada bulan Februari karena waktunya masih belum tepat. Hau Do Suan tak menerangkan lebih detail apa yang dimaksud tidak tepat.

Saat ini Myanmar dan Bangladesh telah mencapai kesepakatan repatriasi pengungsi Rohingya. Bangladesh telah mengatakan negaranya akan membiarkan proses repatriasi ini dipantau oleh PBB. Hal tersebut dilakukan agar Bangladesh tidak dituduh memaksa para pengungsi untuk kembali ke Rakhine.

Baca juga: PBB: Pengungsi Rohingya Belum Diizinkan Kembali ke Myanmar

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement