Kamis 15 Feb 2018 01:59 WIB

Pemimpin Muslim Desak Macron tak Ikut Campur Islam Prancis

Macron sempat menyatakan akan meninjau kembali cara pengawasan terhadap Islam.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Gita Amanda
Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Foto: AP Photo/Thibault Camus
Presiden Prancis Emmanuel Macron.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Seorang perwakilan Muslim terkemuka asal Prancis mendesak Presiden Prancis, Emmanuel Macron, untuk tidak ikut campur dalam pengorganisasian Islam. Hal ini dikemukakan usai Macron mengatakan, ia akan mencoba mendefinisikan kembali hubungan antara Islam dengan negara.

Dilansir di Reuters, Rabu (14/2), pemberontakan ini berasal dari pemimpin sebuah organisasi yang didirikan 15 tahun lalu. Tujuannya, meredam kekhawatiran tentang pengkhotbah radikal dan mendorong konteks Islam yang lebih dapat menyesuaikan.

"Semua orang harus tetap berpegang pada peranan mereka," ujar Presiden French Council of the Muslim Faith (CFCM)/ Dewan Muslim Indonesia Prancis, Ahmet Ogres, kepada Reuters.

Ogras menyebutkan, takdir Muslim adalah agama, sehingga patut untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri. "Hal terakhir yang Anda inginkan adalah negara bertindak sebagai pelindung," ujar Ogras yang sudah memimpin CFCM sejak pertengahan 2017.

Macron, yang terpilih pada Mei lalu, mengatakan rencananya untuk meninjau kembali cara pengawasan terhadap Islam. Rencana ini disampaikan Macron melalui sebuah wawancara di surat kabar, pada Ahad (11/2) lalu.

"Apa yang ingin saya lakukan di paruh pertama 2018 adalah membuat tanda pada keseluruhan cara Islam diorganisir di Prancis. Prioritasnya, mengembalikan sekularisme apa adanya," ucap Macron kepada Journal de Dimanche.

Secara tradisional, Prancis adalah rumah bagi komunitas Yahudi dan Muslim terbesar di Eropa.. Diperkirakan jumlah Muslim mencapai lima juta dari total populasi 67 juta orang.

Aturan resminya, terjadi pemisahan ketat antara agama dan negara dengan poin pertama dianggap sebagai masalah pribadi. Aturan ini menjadi pembenaran dalam larangan penggunaan jilbab oleh pegawai pelayanan publik dan juga mengenakan penutup dari kepala hingga kaki di tempat umum.

Macron telah mendapat tekanan untuk menghadapi para pengkhotbah dan masjid radikal sejak gelombang serangan di mana militan membunuh lebih dari 230 orang di Prancis sejak 2015. Pencarian dan penangkapan darurat diperkenalkan pada serangan November 2015, yang menewaskan 130an orang di Paris. Kebijakan ini dibuat permanen di bawah undang-undang keamanan yang ketat. Beberapa masjid ditutup dan para imam diusir.

Deklarasi Macron pada Ahad lalu menunjukkan, dirinya sedang mempertimbangkan reorganisasi mendalam mengenai iman Islam dan bagaimana para pengkhotbahnya dididik.

Pada 2003, Nicolas Sarkozy, merancang sebuah kesepakatan di antara kelompok Islam utama untuk menciptakan CFCM. Konsepnya, meminta dewan untuk berbicara pada umat Muslim seperti dengan cara French Bishops Conference berbicara pada masyarakat Katolik maupun ketika Consistory berbicara untuk orang Yahudi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement