REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Israel telah memutuskan mengembalikan rancangan undang-undang (RUU) yang mengatur tentang pencabutan izin tinggal permanen warga Palestina di Yerusalem. Keputusan ini dilakukan atas permintaan Menteri Dalam Negeri Israel Aryeh Deri.
Dalam RUU tersebut, diatur tentang kewenangan menteri dalam negeri Israel mencabut izin tinggal tetap bagi semua warga, termasuk warga Palestina di daerah pendudukan yang melakukan tiga hal. Tiga hal tersebut, antara lain izin pendirian bangunan diberikan atas dasar rincian palsu, dianggap mengancam keselamatan atau keamanan publik dan melanggar kesetiaan kepada negara Israel.
Karena mengatur semua penduduk, maka jika diberlakukan nanti, UU ini harus dipatuhi pula oleh para imigran yang memasuki Israel, termasuk mereka yang tinggal bertahun-tahun di Yerusalem Timur. Yerusalem Timur merupakan kota yang ingin dijadikan ibu kota masa depan oleh Palestina.
Menurut RUU tersebut, menteri dalam negeri Israel harus memberikan status alternatif kepada orang-orang yang izin tempat tinggalnya dicabut. Hal itu dengan ketentuan jika mereka tidak dapat memperoleh izin tinggal secara permanen di negara lain.
Selain itu, RUU ini juga mengatur tentang pencabutan izin tinggal bagi mereka yang bermukim di Dataran Tinggi Golan. Anggota parlemen Israel Knesset dari Partai Likud Amir Ohana mengatakan dia akan berupaya merangkul dukungan guna meratifikasi RUU ini.
Menurut Ohana, RUU ini merupakan senjata paling efektif untuk melawan pemimpin Palestina yang menginisiasi dan mengepalai kampanye penghasutan terhadap Israel dan Yahudi. "Penduduk Yerusalem dan Golan Arab harus mengerti ada sebuah realitas baru di lingkungan mereka, dan bahwa Israel memiliki keputusan akhir di sana," ujarnya dilaporkan laman Asharq Al-Awsat, Selasa (20/2).
RUU ini dinilai akan kian memperumit proses perdamaian Israel dengan Palestina. Sebab saat ini Palestina tengah aktif menyuarakan tentang proyek permukiman ilegal Israel di daerah pendudukan. Menurut Palestina, permukiman tersebut merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum internasional dan resolusi internasional PBB.