Kamis 22 Feb 2018 02:18 WIB

Cerita Penutur Tua di Kenya: Bahasa Kami Hampir Punah

Anak-anak muda tidak mau lagi menggunakan bahasa Yakunte dari suku Yaaku.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Peta Negara Kenya
Peta Negara Kenya

REPUBLIKA.CO.ID, DOLDOL -- Rashid Njapaa (78 tahun) adalah satu dari tujuh orang yang masih fasih berbicara bahasa asli suku Yaaku, yaitu bahasa Yakunte. Semua penutur bahasa Yakunte yang tersisa berusia di atas 70 tahun di wilayah Rift Valley, 250 km dari ibu kota Nairobi, Kenya.

"Menyedihkan melihat orang-orang muda yang seharusnya melestarikan, justru memutuskan untuk meninggalkan bahasa yang indah ini," kata Njapaa, sambil mengunyah khat, tanaman berbunga yang sering dikunyah oleh banyak penduduk Afrika Timur.

Suku Yaaku yang memiliki makna 'orang-orang yang berburu', bermigrasi dari Ethiopia ke gua-gua dan perbukitan hutan Mukogodo di Rift Valey, Kenya, lebih dari satu abad yang lalu. Di sana, mereka mulai berburu dan memelihara lebah, sehingga madu menjadi makanan pokok mereka.

Awal abad yang lalu, Maasai, suku prajurit Kenya dan salah satu komunitas pastoral terbesar di Afrika Timur, mencari tempat untuk menetap setelah pemukim kulit putih mengambil tanah mereka. Mereka kemudian memilih untuk bermukim di hutan Mukogodo dan tinggal di samping suku Yaaku, sampai keduanya mulai melakukan aktivitas berdagang

Karena suku Yaaku memiliki populasi yang kecil dan kekayaan yang sedikit, suku Maasai memanggil mereka Ntorobo, yang berarti 'orang miskin tanpa ternak'. Njapaa mengatakan ada sekitar 20 orang suku Yaaku di desanya saat dia lahir.

Masyarakat Yaaku mulai berasimilasi ke dalam komunitas Maasai dan kemudian mengadopsi bahasa Maa, yang dituturkan oleh masyarakat Maasai, untuk memudahkan komunikasi. "Saat itulah bahasa kami mulai hilang perlahan," kata Njapaa kepada Aljazirah.

Dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar 4.000 orang di Kenya saat ini, suku Yaaku dianggap sebagai suku turunan dari Maasai oleh pemerintah Kenya. Njapaa mengatakan dia mencoba untuk mengajar anak-anaknya bahasa Yakunte sejak mereka masih kecil, tetapi sia-sia. Hari ini, semuanya menggunakan bahasa Maa.

Penduduk Yaaku lainnya, Ngaine Kitarpei (34 tahun), mengatakan kalangan generasi muda suku Yaaku sebagian besar tidak tertarik untuk belajar bahasa yang hanya sedikit penuturnya. Kitarpei sendiri telah mengajukan diri untuk menyelamatkan bahasa dan budaya masyarakat Yaaku.

"Banyak pria dan wanita muda Yaaku bertanya kepada kami, siapa yang akan berbicara bahasa itu? Bagi mereka, bahasa Maa itu mudah dan mereka berkomunikasi dengan bahasa itu setiap hari," kata Kitarpei.

UNESCO memperkirakan sepertiga dari bahasa di dunia berasal dari sub-Sahara Afrika. Organisasi PBB tersebut mengatakan, sebanyak 10 persen dari lebih dari 2.000 bahasa yang digunakan di negara-negara Afrika dapat hilang dalam 100 tahun ke depan.

Pada 2010, UNESCO merilis sebuah laporan tentang bahasa-bahasa di dunia yang berada dalam bahaya. Bahasa Yakunte termasuk di antara enam bahasa Kenya yang terdaftar sebagai bahasa yang rawan punah bersama bahasa Elmolo, Kinare, Kore, Lorkoti, dan Sogoo.

Manasseh Ole Matunge (52 tahun), pemuka agama di Doldol, Rift Valley, mengaku telah berusaha meyakinkan kaum muda di desa tersebut untuk belajar bahasa Yakunte saat para tetua masih hidup. "Jika orang-orang tua ini meninggal, bahasa itu akan berakhir. Generasi masa depan kita suatu saat akan mengetahui ada bahasa yang disebut Yakunte," kata Matunge.

Pada 2010, ia memulai sebuah kelompok budaya untuk menyatukan anak-anak muda dan beberapa penutur fasih bahasa Yakunte. Kelompoknya juga menerbitkan sebuah kamus kecil tentang kata-kata Yakunte dan frase yang diterjemahkan ke dalam bahasa Kiswahili dan Maa.

Namun upayanya ini tampaknya sedikit sia-sia. "Pada titik ini, kami telah melakukan segalanya. Saya pikir sudah saatnya kami menerima bahwa bahasa kami sudah mati dan kami terus berbicara bahasa tetangga," ungkapnya.

Maarten Mous, seorang profesor linguistik Afrika di Universitas Leiden, Belanda, telah mempelajari secara ekstensif suku Yaaku. Ia mengatakan tidak mungkin komunitas tersebut menghidupkan kembali bahasanya yang sekarat itu dalam bentuk aslinya.

Menurutnya, hal yang bisa dilakukan adalah memasukkan kata-kata Yakunte ke dalam bahasa Maa yang lebih banyak digunakan. "Lanjutkan berbicara dengan bahasa Maa, tapi sambil membentuk kembali beberapa kata, bawalah kata-kata yang sudah lama Anda ingat dari bahasa yang hampir hilang," kata Mous memberi saran.

Saat dunia memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional pada 21 Februari, untuk menghormati multilingualisme dan hak bahasa, penutur bahasa Yakunte seperti Njapaa justru telah kehilangan harapan. "Nenek moyang kami pasti kecewa dengan kami. Kami sama sekali tidak melindungi bahasa kami. Kami memilih untuk berbicara bahasa tetangga kami dan melupakan bahasa kami," tutur Njapaa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement