REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Amnesty International mengatakan krisis di Myanmar dan pembantaian Muslim Rohingya adalah konsekuensi dari sebuah masyarakat yang didorong untuk membenci dan kurangnya kepemimpinan global mengenai hak asasi manusia.
Hal ini disampaikan kelompok hak asasi manusia tersebut dalam laporan tahunannya yang mencakup 159 negara yang memiliki retorika penuh kebencian oleh para pemimpin mereka sehingga menormalisasi diskriminasi terhadap kaum minoritas.
"Kami melihat konsekuensi akhir dari sebuah masyarakat yang didorong untuk membenci, mencari kambing hitam dan memperlihatkan ketakutan minoritas dalam kampanye militer yang mengerikan dalam pembersihan etnis terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar," kata Sekretaris Jenderal Amnesti Salil Shetty.
Amnesty mengatakan masyarakat internasional telah gagal dalam menanggapi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang seperti di Irak, Sudan Selatan, Suriah dan Yaman. Dikatakan para pemimpin di negara-negara seperti Amerika Serikat, Rusia dan Cina tidak membela kebebasan sipil dan sebaliknya justru merongrong hak jutaan orang.
Seorang bocah Rohingya berjalan di jalan sepanjang perbatasan Myanmar Bangladesh Maungdaw, Negara Bagian Rakhine Myanmar, (11/9/2013)
Amnesty mengatakan Presiden Donald Trump telah mengambil langkah mundur mengenai hak asasi manusia dan merupakan preseden yang berbahaya. Shetty menggambarkan keputusan Trump yang melarang orang-orang dari beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim untuk memasuki AS pada Januari tahun lalu dengan jelas meningkatkan kebencian.
Menurut laporan tersebut hak untuk berbicara secara bebas akan menjadi isu utama bagi mereka yang peduli dengan hak asasi manusia tahun ini. Amnesty mengatakan stafnya ditangkap di Turki pada 2017. Peristiwa ini belum pernah terjadi sebelumnya. Mesir dan Cina juga merupakan diantara negara yang banyak memenjarakan jurnalis.
Dua wartawan Reuters di Myanmar juga ditangkap saat menyelidiki pembunuhan Muslim Rohingya. Saat ini proses pengadilan sedang berlangsung.
"Pada 2018, kita tidak dapat menerima begitu saja bahwa kita bebas untuk berkumpul bersama dalam demonstrasi atau mengkritik pemerintah kita. Sebenarnya, berbicara menjadi semakin berbahaya," kata Shetty.
Pekan lalu, Amerika Serikat mendesak Dewan Keamanan PBB meminta pertanggungjawaban militer Myanmar atas tindakan pembersihan etnis Muslim Rohingya. Menurut PBB hampir 690 ribu Rohingya telah melarikan diri dari Rakhine dan berlindung di negara tetangga Bangladesh sejak militer Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap gerilyawan pada akhir Agustus.
Lebih dari 6.500 Rohingya saat ini terjebak di sebuah daratan yang tidak diklaim antara Myanmar dan Bangladesh.