REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Tiga ledakan bom mengguncang ibu kota negara bagian Rakhine, Sittwe, Myanmar, Sabtu (24/2) pagi waktu setempat. Kejadian ini mengakibatkan seorang petugas polisi terluka.
Menurut keterangan kepolisian setempat, salah satu bom meledak sekitar pukul 04.30 pagi. Bom ini diletakkan di halaman belakang rumah seorang sekretaris pemerintah negara bagian bernama Tin Maung Swe. Ia merupakan salah satu pejabat tertinggi di sana.
Sedangkan, dua bom lainnya meledak di dekat pengadilan tinggi dan kantor urusan pencatatan tanah. Kepolisian Sittwe masih berusaha memburu pelaku yang menyebarkan dan meletakkan tiga bom tersebut.
"Ada tersangka, tapi sekarang bukan waktunya bicara. Polisi berusaha memastikan tersangka dengan menganalisa struktur bom tersebut," ujar juru bicara polisi Kolonel Myo Thu Soe.
Selain bom yang meledak, Myo Thu Soe mengatakan, ditemukan tiga bom rakitan lainnya di Sittwe. Bom tersebut telah diamankan untuk keperluan penyelidikan.
Belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas serangan bom di Sittwe. Namun insiden ini dikhawatirkan akan kembali memicu pecahnya pergolakan di daerah tersebut.
Pada Agustus 2017, militer Myanmar menggelar operasi di Rakhine. Operasi tersebut dilakukan dengan klaim untuk memburu gerilyawan Rohingya yang tergabung dalam Tentara Pembebasan Rohingya Arakan. Gerilyawan tersebut dituduh bertanggung jawab atas serangan di pos perbatasan Myanmar yang menewaskan personel tentara dan kepolisian.
Alih-alih memburu gerilyawan, dalam operasinya militer Myanmar justru menyerang dan menumpas warga sipil Rohingya tanpa tebang pilih. Militer Myanmar disebut membantai penduduk Desa Rohingya, termasuk anak-anak dan perempuan, kemudian membakar permukiman mereka.
Operasi militer ini mengakibatkan ratusan ribu etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Mereka mengungsi untuk menyelamatkan diri dari kekejaman dan kebiadaban militer Myanmar.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah menyatakan bahwa yang terjadi di Rakhine pada Agustus tahun lalu adalah sebuah tindakan pembersihan etnis. Namun hal ini ditolak oleh militer Myanmar.