REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki mengatakan keputusan Amerika Serikat (AS) yang akan membuka kedutaan di Yerusalem telah mengabaikan keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Rencananya, AS akan membuka kedutaan di Yerusalem pada Mei mendatang. Turki menilai AS telah menunjukkan sikap yang merusak perdamaian.
Kementerian Luar Negeri Turki pada Sabtu (24/2) mengatakan, keputusan AS sangat mengkhawatirkan. Sebelumnya, pada Jumat (23/2), Departemen Luar Negeri AS mengatakan pihaknya akan membuka sebuah kedutaan di Yerusalem pada Mei, bertepatan dengan ulang tahun Israel yang ke-70, dilansir dari Arab News, Ahad (25/2).
Pada akhir tahun 2017, Presiden Tayyip Erdogan menjadi tuan rumah pertemuan puncak OKI yang dihadiri lebih dari 50 negara di Istanbul, Turki. Pada pertemuan tersebut, para pemimpin Muslim mengecam keputusan AS yang mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump juga telah mengumumkan pada 2017 bahwa AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Pernyataan Trump telah membuat cemas sekaligus mengecewakan orang-orang Palestina yang menginginkan bagian timur Kota Yerusalem dijadikan ibukota mereka.
Sementara, Wakil Presiden AS Mike Pence saat berbicara di parlemen Israel bulan lalu mengatakan, memindahkan kedutaan besar ke Yerusalem akan dilakukan pada akhir tahun 2019. Di samping itu, sebuah undang-undang baru yang diusulkan akan memberi Israel kekuatan lebih luas untuk mencabut hak-hak warga Palestina untuk tinggal di Yerusalem Timur dan dataran tinggi Golan.
Perundang-undangan tersebut mengikuti usaha-usaha sebelumnya untuk menghapus manfaat jaminan sosial dan hak penyatuan kembali keluarga warga Palestina di Yerusalem. Rancangan undang-undang yang disetujui oleh komite legislatif parlemen Israel itu memungkinkan Pemerintah Israel untuk menarik atau menyita tempat tinggal warga Palestina.